SISTEM
MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA PERGURUAN TINGGI BERORIENTASI MANAJEMEN ILMU
PENGETAHUAN
A. PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Organisasi secara sederhana didefenisikan sebagai
kumpulan orang-orang yang bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Tidak
dapat dipungkiri bahwa faktor orang-orang (manusia) merupakan faktor yang
begitu penting dalam sebuah organisasi, karena tanpa manusia, organisasi tidak
terdefinisi. Pengamatan yang sering
dilaporkan banyak pakar,
Siagian (2008) dalam Arwildayanto (2012) meyakini bahwa berbagai
institusi meskipun tidak memiliki sumber
daya dan kekayaan dalam bentuk uang, akan tetapi jika memiliki sumber daya
manusia yang terdidik, terampil,
disiplin, tekun, mau
bekerja keras, memiliki
budaya kerja, setia meraih kemajuan
yang sangat besar buat institusi dan
pribadinya terbuka dengan lebar.
“Mesin
yang canggih sekali
hanya menjadi barang dan benda mati
bila tidak digerakkan atau dijalankan oleh manusia. Ilustrasi ini juga berlaku
di perguruan tinggi, semegah dan
secanggih apapun fasilitas dan bangunannya,
tetapi tidak didukung SDM yang berkualitas yang dihasilkan melalui
manajemen SDM perguruan tinggi profesional. Maka perguruan tinggi tersebut
tidak akan berkembang dengan
maksimal bahkan cendrung
statis dan mempertahankan status quo” (Arwildayanto:
2012).
Institusi Perguruan Tinggi merupakan organisasi yang
memiliki sumber daya manusia berupa masyarakat
intelektual (terpelajar).
Perguruan Tinggi “menjual” scientific
people serta jasa konsultasi kepada scientific
community maupun dunia kerja untuk memperoleh benefit berupa kualitas dan reputasi akademik. Karena itu,
manajemen SDM perguruan tinggi memiliki posisi yang vital dalam membentuk image
mutu lulusan maupun mutu perguruan
tinggi secara umum, dengan berorientasi ilmu pengetahuan.
Sistem manajemen SDM perguruan tinggi hari ini
dituntut untuk semakin efisien, efektif
dan produktif. Kebutuhan organisasi pada
manajemen sumber daya
manusia yang semakin
bermutu tinggi akan
semakin besar pula. Tanpa mengurangi pentingnya perhatian yang tetap harus diberikan pada
manajemen sumber-sumber organisasional lainnya,
tidak bisa disangkal
bahwa perhatian yang besar
harus diberikan pada
manajemen sumber daya manusia
perguruan tinggi.
Manajemen SDM perguruan tinggi merupakan bagian
dari pengelolaan segenap civitas akademika (Arwildayanto: 2012). Menurut Pasal
(1) ayat (13) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi,
Civitas akademika adalah masyarakat akademik yang terdiri atas dosen dan
mahasiswa.
“Eksistensi
manajemen SDM perguruan
tinggi menjadi challenge
sekaligus kebutuhan perguruan tinggi dan stakeholdernya. Dimana manajemen
SDM perguruan tinggi tentu lebih menfokuskan pekerjaannya dalam hal mengurus (memenej) segenap potensi dosen
maupun meminimalisirkan berbagai kekurangan
yang dimilikinya. Sehingga pada
akhirnya manajemen SDM
perguruan tinggi mampu
menampilkan profil dosen profesional
sesuai dengan amanah
yang dipikulnya, mengemban
Tri Dharma Perguruan tinggi.
Dosen bukan saja
sekedar pandai dalam
menyampaikan materi
perkuliahan, namun mereka
juga dituntut untuk
profesional melakukan
penelitian-penelitian (research)
ilmiah dan cerdas
dalam pengabdian kepada masyarakat” (Arwildayanto: 2012).
Dengan alasan pentingnya manajemen sumber daya
manusia, dalam hal ini yang dibahas adalah manajemen sumber daya manusia
perguruan tinggi, dan karena sumber daya manusia perguruan tinggi merupakan
masyarakat intelektual yang erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan, maka
dipandang perlu untuk menerapkan secara
kontinu sebuah sistem manajemen sumber
daya manusia perguruan tinggi
berorientasi manajemen ilmu pengetahuan.
2.
Tujuan
Berdasarkan pemaparan pada latar belakang di atas
maka tujuan dari tulisan ini adalah, pertama, melakukan analisis tantangan ke
depan yang akan dihadapi oleh Perguruan Tinggi dalam hal Sistem Manajemen
Sumber Daya Manusia. Dan kedua, membahas respon positif terhadap tantangan
Perguruan Tinggi dalam hal sistem Manajemen Sumber Daya Manusia Perguruan
Tinggi berorientasi Manajemen Ilmu Pengetahuan.
B. ANALISIS
TANTANGAN PERGURUAN TINGGI KE DEPAN
Tantangan
besar di abad 21 adalah masalah globalisasi. Globalisasi merupakan suatu proses
yang mendunia, yang menyebabkan individu tidak terikat oleh negara atau
batas-batas wilayah. berdasarkan laporan We Are Social – sebuah perusahaan
agensi – dari total seluruh penduduk dunia yang mencapai angka tujuh miliar
ternyata total pengguna internet di seluruh dunia sudah melebihi angka tiga
miliar, dengan pertumbuhan sebanyak lima persen setiap tahunnya (Wijaya, 2014).
Dengan besarnya jumlah pengguna internet, sudah dapat dipastikan bahwa selain
tidak ada lagi batas wilayah, waktu yang dibutuhkan untuk sampainya sebuah
informasi lintas benua pun mendekati nol. Inilah yang dinamakan proses
mendunia.
Globalisasi
dipicu sekaligus didukung oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
yang begitu pesat. Dunia pendidikan
juga tidak dapat terlepas dari efek arus globalisasi. Globalisasi
membawa perubahan yang mencakup hampir seluruh bidang kehidupan, politik,
ekonomi, sosial budaya, hukum, pertahanan dan keamanan, termasuk bidang
pendidikan. Arus globalisasi yang demikian derasnya, mengharuskan kita untuk
kuat menghadapinya jika tidak ingin tergerus. Banyak perubahan yang harus bisa dilakukan untuk
menghadapi tantangan abad 21.
Sejak akhir abad 20, tantangan-tantangan abad 21 yang akan
dihadapi oleh dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi telah sering
diperbincangkan, bahkan menjadi fokus utama perhatian. salah satunya terlihat
dari sebuah essay yang merupakan kumpulan makalah yang dipresentasikan dalam
sebuah simposium pada bulan Desember 1998 dengan tema “Global Challenge and National Response”. Essay tesebut menyajikan
pemikiran para peneliti pendidikan mengenai tantangan dunia pendidikan yang
dihadapi oleh berbagai negara di seluruh dunia, serta bagaimana respon dan
antisipasi yang dilakukan untuk menghadapi tantangan tersebut.
“Academic institutions and
systems have faced pressures of increasing numbers of students and demographic
changes, demands for accountability, reconsideration of the social and economic
role of higher education, implications of the end of the Cold War, and the
impact of new technologies, among others. While academic systems function in a
national environment, the challenges play themselves out on a global scale. We
can learn much from both national experiences and international trends. Ideas
and solutions from one country or region may be relevant in another”
(Altbach & Davis: 1999).
“Accountability
is a contemporary watchword in higher education. Demands by funding sources,
mainly government, to measure academic productivity, control funding
allocations, etc. is increasingly a central part of the debate on higher
education. Governance systems are being strained, sometimes to the breaking
point. To meet the demands for accountability, universities are becoming
"managerialized", with professional administrators gaining increasing
control. The traditional power of the professoriate is being weakened” (Altbach & Davis: 1999).
“Expansion brings with it increased
differentiation and the emergence of academic systems. New kinds of academic
institutions emerge, and existing universities serve larger and more diverse
groups. In order to make sense of this differentiation, academic systems are
organized to provide coordination and the appropriate management of resources” (Altbach & Davis: 1999).
“Chinese higher education institutions, as do
universities in other countries, face similar contemporary challenges,
resulting from the advancement of science and technology, economic growth,
social changes, and the internationalization and globalization of the world
economy, as well as of higher education. However,
one has to be aware that Chinese higher education institutions respond to
common challenges in a specific institutional context, characterized by the
transition of the Chinese economy from an ossified, centrally planned system to
a dynamic, socialist market economy” (Weifang:
1999).
“As in other parts of the world, how to
improve the link between education and the work force represents a serious
challenge for Chinese universities” (Weifang: 1999).
“Enrollments in higher education institutions
rose from about 1 million in the early 1980s to 6 million in 1998 (including
2.8 million enrolled in adult higher education institutions). However, the
expansion of higher education has not kept up with the demands. Currently,
higher education enrollments account for only 7 percent of the college-age
population in China, which is very low by international standards. The world
average now is about 13 percent, while the industrialized countries enroll more
than 30 percent of their college-age cohort. Access to higher education is one
of the most challenging issues facing the Chinese government” (Weifang:
1999).
“The advancement of science and technology,
especially the revolution in information technology—which has significantly
reduced the costs of processing and disseminating knowledge—has dramatically
changed the world economy and higher education. Indeed,in China people have
already felt the strong impact of advances in information technology on the
school-to-work transition, life long education, distance education, etc” (Weifang:
1999).
“The market is a powerful force in making
higher education relevant to employment. But like a cancerous growth, it can
destroy love for learning, crowd out philosophical and literary pursuits,
stifle the advancement of knowledge, and render both theoretical and liberal
education irrelevant. With the globalization of the economy, the developed
societies tend to impose their man power needs on the higher education systems
of less-developed societies and to push the latter into the background. These
problems have to be consciously addressed”(Chitnis: 1999).
“In general, colleges and universities in
continental Europe are facing three major challenges: expansion,
diversification, and massification. Expansion refers to the large increases in
student numbers in most European countries in response to public policies
providing education to a large portion of the population, often under the
banner "education for all." For example, in Austria the number of
students almost doubled between 1980 and 1995. A second observable trend is
diversification. Many nations like Germany, France, or the Netherlands have a
binary system of higher and vocational education, which translates into
different types of institutions for different target groups. Where this split
did not exist (for example, in Austria or Switzerland), governments and
ministries have introduced or are planning to implement a more diverse
landscape for higher education, in line with the interests and aspirations of
potential students. Switzerland is in the process of introducing
Fachhochschulen (i.e., vocational training institutions) to its system of
higher education. A third issue confronting European universities is
"massification," which refers to over crowded and over burdened institutions
that are hard to work in, to study in, and to manage. In Germany, unbearable
studying conditions—such as lecture classes with over 1,000
students—unavailable professors, and incompetent administrators caused major
student strikes in 1998” (Sporn: 1999).
“Some of the main issues that are likely to
dominate the discussion of higher education in Africa in the next millennium
are : the effects of demographic changes on the provision of higher education;
the adverse effects of a deteriorating economy on quality education; the
participation of institutions of higher learning in the production and
ownership of knowledge—especially in the area of information technology; and
the role of universities in the political and cultural changes that are likely
to occur in the 21st century”(Eshiwani: 1999).
“The issues —regarding mass higher education,
undergraduate and graduate education, financing and institutional reform— have
been on the higher education agenda in Latin America for many years, and are
far from being resolved in most places. The main reason for this slow pace is
the high political costs of reform. Students, academics, and administrators do
not know much about the complexities of change in higher education, and often
have good reason to mistrust their governments. Moreover, they feel they might
be directly affected by reforms leading to closer evaluation of what a lecturer
does in class, or whether a student is really learning, or whether money is
being spent wisely. Many sectors in society would favor these reforms :
employer shoping for more qualified employees, families looking for good
schools for their children, less-privileged persons looking for more suitable
learning opportunities, governments needing to cut spending or to make better
use of their resources. But these potential supporters of change are scattered,
while the stake holders within higher education institutions are well
organized, able to demonstrate against the government, and have easy access to
the press. No wonder that some of the biggest transformations in higher
education in Latin America were accomplished by authoritarian regimes. However,
to thrive, higher education institutions require personal involvement and
legitimacy, which are characteristics of free and democratic societies. In Chile
and Brazil, democratic regimes tried to build on what military governments had
left in terms of effective institutional improvements, while getting rid of the
authoritarian components of the previous years” (Schwartzman: 1999).
Adapun
beberapa pemikiran dan penelitian mengenai tantangan abad 21 bagi dunia
pendidikan yang lebih kontemporer disajikan sebagai berikut:
“Nowadays the Higher Education Organizations
(HEOs) have to face more challenges, and more complex issues, starting from an
increase number of students enrolled in their educational programs up to the
limitations imposed by the
infrastructure available to accommodate the students and the curriculum
classes. During the past two decade a hope to solve, at least partially, the
challenges face by HEO was brought by the developments achieved by the
Information and Communication Technology (ICT)”
( Dobre: 2014).
“Today organizations are heavily affected by
globalization and changes in the demographic structure of the society. Since
the sex, race, and ethnic diversity of organizations are much broader than the
past, nowadays the number of members in the same organization sharing different
backgrounds and values has increased to a great extent. Moreover, the rapid
development in technology not only entails more trained and skilled workforce
but also necessitates sharpening intercultural collaboration skills in the
organization”(Meric, dkk: 2015).
“Globalization has generated an exponential
increase in demand for higher education, which is a situation currently faced
by all countries. Demand for new school places increases continuously, more and
more students of diverse types and ages enrolling in higher education to be
trained in various forms in a growing number of areas in the modern educational
programs” (Iatagan: 2015).
“Current situation in the field of education
testifies the need of system for overcoming the negative phenomena, cardinal
organizational, structural transformations, updating of the education content
and specialists training quality improvement according to modern social,
economic and political conditions of republic development and progressive
experience of the advanced countries. Globalization of world economy became
objective reality. Creation of a common all European labor market causes
acceptance of adequate changes in the educational sphere. Therefore the
national education system can't develop without integration into world
educational space. In assessing the research, design activity is the
opportunity to assess the level of formation. Present practices are inadequate
to meet changes in work, knowledge, and citizenship while serving a greater
number of students with diverse backgrounds and educational objectives”(Massyrova,
dkk: 2015).
Dari beberapa pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa tantangan
yang dihadapi oleh institusi pendidikan tinggi pada berbagai negara di dunia
secara umum sama, diantaranya meningkatnya jumlah students yang menyebabkan masalah massifikasi; perubahan demografi
yang berkaitan erat dengan diversifikasi; tuntutan akan akuntabilitas;
internasionalisasi dan globalisasi ekonomi dunia yang menyebabkan institusi
pendidikan tinggi harus kembali mempertimbangkan perannya dalam masalah sosial
ekonomi serta memperbaiki link antara pendidikan dan ketenagakerjaan; imbas
dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat; serta
ekspansi institusi pendidikan tinggi.
Di Indonesia, peningkatan jumlah students di dunia pendidikan tinggi begitu signifikan. “Pada tahun 2001 jumlah mahasiswa
sekitar 3,4 juta orang, pada akhir tahun 2009 jumlah mahasiswa di Indonesia
telah lebih dari 4,5 juta orang” (Rencana Strategis 2010-2014 DIKTI). Sedangkan
data yang diperoleh dari Pangkalan Data Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, mahasiswa aktif yang tercatat di tahun 2015 sebanyak
4.461.921 orang. Kenaikan jumlah mahasiswa sebanyak kurang lebih 1 juta orang
selama rentang waktu 14 tahun. Dengan
begitu besarnya sumber daya yang terdapat dalam sebuah institusi pendidikan
tinggi, maka dibutuhkan sebuah manajemen yang baik untuk mengatur pemanfaatan
sumber daya yang ada secara efektif dan efisien.
Studi yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
pada tahun 2014 tentang respon sistem pendidikan tinggi Indonesia terhadap
pasar kerja memberikan hasil yakni institusi pendidikan tinggi harus kembali
mempertimbangkan perannya dalam masalah sosial ekonomi serta memperbaiki link
antara pendidikan dan ketenagakerjaan; dalam jumlah tenaga kerja yang pernah
mengenyam pendidikan di perguruan tinggi meningkat dua kali lipat dalam sepuluh
tahun terakhir; pada tahun 2000 sekitar 5 juta tenaga kerja pernah mengenyam
pendidikan di perguruan tinggi; pada tahun 2010 jumlah ini meningkat menjadi
lebih dari 10 juta; lulusan Perguruan Tinggi memiliki kesempatan lebih tinggi
untuk memasuki kerja dibandingkan lulusan tingkat pendidikan lainnya; lulusan
Perguruan Tinggi umumnya mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keterampilan
mereka dan bekerja dalam kondisi yang lebih baik dibanding pekerja dengan
tingkat pendidikan yang lebih rendah; kebutuhan akan lulusan Perguruan Tinggi
saat ini jauh melebihi pasokan yaitu 10%; tingkat pendapatan untuk
pekerjaan-pekerjaan di sektor swasta bagi lulusan PT terus meningkat walaupun
jumlah lulusan yang mencari pekerjaan di sektor ini juga meningkat.
Siagian
(2008; 25-26) dalam Arwildayanto (2012) menyatakan bahwa
salah satu tantangan
yang akan dihadapi oleh
organisasi atau institusi
manusia beraktivitas di
masa depan termasuk di perguruan tinggi
adalah untuk menciptakan
organisasi atau institusi
yang semakin beragam, tetapi
sekaligus menuntut manajemen
yang semakin efisien,
efektif dan produktif. Begitu
juga harus pula diterima pendapat bahwa
ketergantungan organisasi pada
manajemen sumber daya
manusia yang semakin
bermutu tinggi akan
semakin besar pula. Tanpa mengurangi pentingnya perhatian yang tetap harus diberikan pada
manajemen sumber-sumber organisasional lainnya, tidak bisa disangkal bahwa perhatian utama
harus diberikan pada manajemen sumber daya manusia. Untuk mewujudkan situasi
demikian, perlu peningkatan
kesadaran tentang maksud
dari semua kegiatan manajemen
sumber daya manusia,
yaitu untuk meningkatkan sumbangan sumber daya manusia
terhadap keberhasilan institusional.
Seperti halnya organisasi yang lain, tantangan ke
depan yang dihadapi oleh institusi pendidikan tinggi dapat dibedakan menjadi
dua, tantangan internal yang bersumber dari dalam institusi perguruan tinggi
sendiri dan tantangan yang berasal dari lingkungan eksternal di mana perguruan
tinggi berada.
“Mengelaborasi
berbagai tantangan internal
perguruan tinggi dalam
aktivitas manajemen SDM perguruan
tinggi tidaklah terlalu
rumit. Siagian (2008;55) menyatakan ada beberapa tantangan
internal perguruan tinggi dalam
manajemen SDM dosen, antara lain; 1) rencana strategi, 2) anggaran, 3) estimasi
lulusan, 4) usaha atau kegiatan baru, dan 4) rancang bangun institusi dan tugas
pekerjaan. Alasan lainnya adalah
manajemen SDM perguruan
tinggi bisa memulai
dari target apa yang akan dicapai perguruan tingginya, misalnya
kebanyakan di Indonesia perguruan tinggi memiliki cita-cita menuju world
class university (WCU). Perguruan tinggi lainnya
mungkin terdepan dalam
teknologi, pelopor peradaban,
sampai membentuk insan yang bertakwa dan berkarakter” (Arwildayanto:
2012).
“Tantangan yang berada di eksternal perguruan tinggi
dalam aktivitas manajemen SDM perguruan tinggi bisa berinovasi melakukan
perubahan lingkungan manajemen SDM.
Dimana akuntabilitas unit manajemen SDM perguruan tinggi
secara bertahap menjadi
luas dan strategis sejak
orang-orang dari kalangan
dunia usaha (bisnis) memasukkan departemen personalia dalam struktur
organisasinya. Dimana tugas utama
departemen personalia mulai
menunjukkan eksistensi ketika
diberikan kewenangan mengambil alih tugas memperkerjakan, dan
memberhentikan pekerja dari pengawas, menjalankan fungsi penggajian. Saat
teknologi muncul manajemen SDM di dunia usaha
sudah mulai memainkan peran yang lebih luas dalam
pelatihan dan promosi
karyawan. Munculnya peraturan serikat pekerja tahun 1930 juga menambah tantangan baru
bagi manajemen SDM
perguruan tinggi untuk
tidak boleh bersikap diskriminatif” (Arwildayanto: 2012).
“Lingkungan yang cepat berubah di luar kampus turut
menjadi tantangan dalam pencapaian
kerja manajemen SDM
perguruan tingi. Globalisasi
mengacu pada kecendrungan perguruan
untuk memperluas ekspansi
pasarnya. Hadirnya perguruan tinggi asing menjadi ancaman serius
bagi kelangsungan perguruan tinggi dalam negeri. Lonceng kompetisi
sudah dibunyikan, ini
memberikan signal siap
atau tidak siap warga kampus sudah bersaing dalam
tataran global. Kondisi ini memaksa manajemen SDM perguruan tinggi agar eksis
dan mampu meningkatkan pengetahuan, cara kerja dan komitmen kerja dosen setara
dengan dosen-dosen yang ada di luar negeri” (Arwildayanto: 2012).
C. RESPON
TERHADAP TANTANGAN PERGURUAN TINGGI
1.
Konsep Pendekatan
Hasibuan (2014) menyatakan, dalam mempelajari MSDM
ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan yaitu pendekatan mekanis, paternalis,
dam sistem sosial. Ketiga macam metode pendekatan ini sama-sama mempunyai
kebaikan dan kelemahan. Dalam pendekatannya, seorang manajer harus dapat
menerapkan secara efektif dan selektif
metode pendekatan mana yang paling tepat dalam mengatasi masalah yang
dihadapinya. Pendekatan mana yang paling efektif tergantung kepada situasi dan
keadaan yang dihadapi manajer. Sejarah pendekatan masa lalu kita pergunakan
sebagai cermin yang akan diimplementasikan kepada masa yang akan datang.
a.
Pendekatan
Mekanis
Mekanisasi (otomatisasi) mengganti peranan tenaga
kerja manusia dengan tenaga mesin untuk melakukan pekerjaan. Penggantian ini didasarkan
kepada pertimbangan ekonomis, kemanusiaan, efektivitas, dan kemampuan yang lebih
besar dan lebih baik.
Pendekatan mekanis ini menitikberatkan analisisnya
kepada spesialisasi, efektivitas, standardisasi, dan memperlakukan karyawan
sama dengan mesin. Spesialisasi semakin mendalam dan pembagian kerja semakin
mendetail sebagai akibat perkembangan perusahaan dan kemajuan teknologi
canggih. Dalam hal ini seorang pekerja hanya mengerjakan satu jenis pekerjaan
saja.
Pendekatan mekanis ini akan mengakibatkan timbulnya
masalah-masalah pengangguran teknologis, keamanan ekonomis, organisasi buruh,
maupun kebanggaan dalam pekerjaan. Pendekatan mekanis banyak menimbulkan
masalah di samping mendatangkan keuntungan. Untuk mengatasi akibat yang timbul,
para manajer harus melakukan pendekatan paternalis.
b.
Pendekatan
Paternalis
Pada pendekatan paternalis (paternalistic approach), manajer untuk peng-arahan bawahannya
bertindak seperti bapak terhadap anak-anaknya. Para bawahan diperlakukan dengan
baik, fasilitas-fasilitas diberikan. Bawahan diperlakukan dengan baik,
fasilitas-fasilitas diberikan, bawahan dianggap sebagai anak-anaknya. Misalnya,
diberikan pinjaman uang serta didirikan toko sehingga karyawan dapat membeli
keperluannya secara kredit.
c.
Pendekatan
Sistem Sosial
Pendekatan sistem sosial ini memandang bahwa
organisasi/ perusahaan adalah suatu sistem yang kompleks yang beroperasi dalam
lingkungan yang kompleks yang bisa disebut sebagai sistem yang ada di luar.
Manajer mengakui dan menyadari bahwa tujuan organisasi/
perusahaan baru akan tercapai jika terbina kerja sama yang harmonis antara
sesama karyawan, bawahan dengan atasan, serta terjadi interaksi yang baik di
antara semua karyawan. Pemikiran ini didasarkan pada adanya saling
ketergantungan, interaksi,dan keterkaitan di antara sesama karyawan.
Sistem adalah suatu proses yang terdiri dari
berbagai unsur atau komponenyang satu sama lain berkaitan secara struktural dan
fungsional, saling menunjangdan mengisi, sesuai dengan peran dan kedudukan
masing-masing namunkeseluruhannya secara mutlak didukung oleh setiap komponen,
betapapun kecilnilainya.
Jadi setiap sistem mengandung masukan (input),
proses, keluaran (output),dan
merupakan sebuah kesatuan yang bekerja sendiri.
Komunikasi yang diterapkan hendaknya komunikasi dua
arah (two way/ trafic), dan umpan
balik (feed back) yang positif.
Dengan komunikasi dua arah maka akan terbina saling pengertian, yang akhirnya
terbentuk suatu hubungan sosial yang baik dan menguntungkan.
Di antara ketiga pendekatan yang telah dipaparkan di
atas, maka terlihat bahwa konsep pendekatan sistem sosial cocok untuk
diterapkan pada manajemen Sumber Daya Manusia Perguruan Tinggi. Pendekatan
Sistem Sosial memandang Manajemen Sumber Daya Manusia atau personalia merupakan proses yang kompleks.
Dengan kekomplekan kegiatan manajemen Sumber Daya Manusia, maka pimpinan perguruan
tinggi harus mengarahkan dari pendekatan mekanis dan/atau pendekatan paternalis
menuju kepada pendekatan yang lain yaitu pendidikan sistem sosial yang
merupakan suatu pendekatan yang dalam pemecahan masalah selalu memperhitungkan
faktor-faktor lingkungan. Setiap ada permasalahan, maka diusahakan dipecahkan
dengan sebaik mungkin dengan resiko yang paling kecil, bagi segala pihak yang
terlibat.
2.
Strategi
Dalam pembuatan strategi dibutuhkan pedoman untuk
mengetahui apa saja yang harus dilakukan. Dalam hal ini ada dua panduan utama,
yaitu mengetahui jenis karakter orang yang akan dipekerjakan, memikirkan jenis
program dan inisiatif SDM yang harus dibuat (Tarmizi: 2012).
Panduan pertama mengetahui jenis karakter orang yang
perlu dikelola dan yang akan menjalankan bisnis, supaya sesuai dengan tujuan
bisnis stratejik. Hal yang penting kedua dalam merumuskan strategi SDM adalah
memikirkan jenis program dan inisiatif tentang SDM yang harus didesain dan
diterapkan untuk memikat, mengembangkan dan mempertahankan staf agar
berkompetisi secara efektif (Tarmizi: 2012).
Sumber Daya Manusia merupakan salah satu dimensi
utama dalam manajemen SDM. Dalam hal SDM yang harus diperhatikan adalah tingkat
keterampilan serta kemampuan staf, dan kapabilitas manajemen, Ketiga hal
tersebut terkait langsung dalam pembuatan strategi SDM. Dengan mengetahui
tingkat keterampilan dan kemampuan staf, maka perusahaan dapat menentukan arah
startegi SDM apakah akan memperbanyak pendidikan dan pelatihan, akan menaikan
gaji atau imbalan, akan meningkatkan teknologi atau strategi-strategi lain.
Dengan mengetahu tingkat kapabilitas manajemen, maka strategi SDM yang
ditetapkan pun bisa menjadi efektif – apa jadinya bila para manajer tidak
menguasai suatu praktik MSDM yang menjadi salah satu startegi SDM (Tarmizi:
2012).
Manajemen SDM melakukan pengelolaan manusia
(karyawan) dalam hal perencanaan tenaga kerja, perekrutan dan seleksi,
pelatihan dan pengembangan, penilaian kinerja, kompensasi, hingga administrasi
tentang tenaga kerja. Dengan mengelola SDM diharapkan akan mendapatkan karyawan
yang mempunyai tingkat produktivitas yang tinggi. Pengelolaan SDM harus
dilaksanakan secara profesional, dimulai sejak perekrutan, seleksi, pengklasifikasian,
penempatan sesuai dengan kemampuan, penataran/pelatihan dan pengembangan
karirnya. Sehingga akan didapat SDM yang dapat bekerja secara produktif, yang
akhirnya tujuan dari suatu perusahaan akan tercapai (Tarmizi: 2012).
Dalam mengelola SDM untuk mendapatkan karyawan yang
baik dan produktif, maka harus ada suatu sistem perencanaan SDM. Sistem
perencanaan SDM pada dasarnya meliputi prakiraan (estimasi)
permintaan/kebutuhan dan penawaran/penyedian SDM.
Satu aspek yang penting bagi suatu PT yaitu
pembuatan Rencana Strategis. Renstra PT dibuat dengan mempertimbangkan kondisi
dan peraturan terkait tingkat dunia, regional, nasional, lingkungan sekitar dan
internal. Mengikuti Renstra telah otomatis mengikuti rambu -rambu yang ada,
otomatis bergerak dalam koridor yang benar.
Renstra tentu telah dibuat dengan prosedur terbaik yang telah difahami
oleh PT. Bersumber pada Renstra maka
rencana bisnis dan rencana-rencana lain termasuk perencanaan SDM dapat
ditetapkan sebagai jabaran rinci untuk acuan pelaksanaan (Sudjarwadi: 2013).
Dalam Rencana Strategis harus tercantum dasar-dasar
pengembangan jumlah dan kemampuan SDM ke arah optimasi kinerja SDM berkaitan
dengan asset fisik, finansial dan ilmu pengetahuan. Dengan ketekunan tim kecil
mendalami urusan SDM ini maka perhitungan jumlah beban kerja di setiap lini,
jumlah SDM yang optimal dapat diterapkan berdasar kemampuan atau kompetensi SDM
bersangkutan. Dokumen-dokumen peraturan resmi, pengetahuan umum dan wawasan
terkait dapat dicari oleh semua yang memiliki passion untuk itu (Sudjarwadi:
2013).
Di sejumlah lini tidak jarang kelebihan jumlah SDM
padahal di sejumlah lini tertentu kekurangan SDM. Dalam penataan ulang pemberian
tugas sering terpikir relokasi penugasan, perampingan, atau menciptakan beban
kerja baru yang sesuai peraturan dan memberi manfaat baik kepada institusi
maupun kepada lingkungan kerja masing-masing SDM (Sudjarwadi: 2013).
3.
Program
Program pengembangan sumber daya manusia di suatu
universitas, fakultas, lebih khusus di suatu program studi, telah memprogramkan
kegiatan-kegiatan pengembangan sumber daya manusia dalam menunjang proses
belajar mengajar, antara lain seperti: kegiatan-kegiatan magang,
pelatihan-pelatihan, seminar, lokakarya, workshop, serta meningkatkan kualitas
manajemen fakultas/program studi bagi pimpinan fakultas/program studi. Dalam
maksud tersebut, pimpinan universitas, pimpinan fakultas, dalam rangka
menerapkan manajemen perguruan tinggi modern, perlu mengikutsertakan para
pimpinan program studinya dalam kegiatan-kegiatan pengembangan sumber daya
manusia, untuk mengikuti kegiatan magang seperti kegiatan Total Quality
Management di suatu universitas/fakultas dan program studi lain di luar
perguruan tingginya.
Menurut Sallis (2012), Total Quality Management
(Manajemen Mutu Terpadu) berasal dari dunia bisnis, khususnya dunia perusahaan.
Pemahaman tentang mutu yang diperoleh dari pengalaman dunia bisnis dapat
diaplikasikan dalam dunia pendidikan, namun itu membutukan suatu proses adatasi
yang tinggi untuk menyesuaikan antara kondisi khusus dari masing-masing
institusi pendidikan. TQM adalah suatu makna dan standar mutu dalam pendidikan.
Ia memberikan suatu filosofi perangkat alat untuk memperbaiki mutu. Ia dicapai
dengan ide sentral yang diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan.
TQM bukanlah sebuah tugas yang hanya dikerjakan
manajer senior yang selanjutnya memberikan arahan kepada para bawahannya. Kata
“Total” (terpadu) dalam TQM
menegaskan bahwa setiap orang yang berada di dalam organisasi harus terlibat
dalam upaya melakukan peningkatan secara terus menerus. Kata “Management” dalam TQM belaku bagi setiap
orang, sebab setiap orang dalam sebuah institusi, apapun status, posisi atau
peranannya, adalah manajer bagi tanggungjawabnya masing-masing (Sallis: 2012).
Menurut Lunenburg dan Ornstein (2004:53), dalam
proses Manajemen Sumberdaya Manusia terdapat enam program yaitu: Human resource planning, Recruitment,
Selection, Professional development, Performance appraisal, dan Compensation (Suharsaputra: 2008).
Human
resource planning merupakan perencanaan
Sumber daya Manusia yang melibatkan pemenuhan kebutuhan akan personel pada saat
ini dan masa datang, dalam konteks ini pimpinan perguruan tinggi perlu
melakukan analisis tujuan pekerjaan, syarat-syarat pekerjaan serta ketersediaan
personil. Recruitment adalah upaya
pemenuhan personil baik dosen maupun tenaga kependidikan melalui pencarian
personil yang sesuai dengan kebutuhan dengan mengacu pada rencana Sumber Daya
Manusia yang telah ditentukan. Kemudian dari pendaftar yang diperoleh dalam
rekrutmen, dilakukanlah selection
untuk menentukan personil yang kompeten sesuai dengan persyaratan pekerjaan
yang ditetapkan.
Apabila Personil yang dibutuhkan telah diperoleh,
maka langkah Manajemen Sumber Daya Manusia yang amat diperlukan adalah Professional development atau
pengembangan profesional yang merupakan upaya untuk memperbaiki dan
meningkatkan kompetensi personil agar dapat memberikan kontribusi yang lebih
besar bagi kepentingan organisasi. Dalam hubungan ini maka diperlukan upaya
untuk melakukan penilaian kinerja (performance
appraisal) sebagai upaya untuk memahami bagaimana kondisi kinerja personil
dalam organisasi yang amat diperlukan dalam menentukan kebijakan kompensasi (compensation) serta pengembangan karir
personil (Suharsaputra: 2008).
Kinerja dari manajemen SDM perguruan tinggi adalah
keberhasilannya dalam melakukan pengembangan
potensi dosen, maksudnya
mampu memberdayakan komponen SDM
perguruan tinggi melalui
tindakan optimal terhadap
faktor-faktor pembentuk
produktivitas kerja personal
dosen, maupun kelompok
fungsional dosen. Hal ini
selaras dengan pendapat
Castetter (1982;275) menyatakan
bahwa pengembangan harus dipandang
sebagai kegiatan untuk
meningkatkan kemampuan perseorangan
maupun group agar mereka lebih bertanggungjawab dalam sistem yang dibentuk.
Parameter
berkembangnya dosen dalam
melaksanakan tugas dan
fungsinya bukan hanya di
lihat dari produktivitas
pelaksanaan tri dharma
perguruan tinggi, pendidikan dan
pengajaran, penelitian serta
pengabdian kepada masyarakat.
Secara normative ketiga hal
itu juga bisa
di lihat dari;
a) jenjang pendidikan,
b) jabatan fungsional.
Jadi
Fokus utama manajemen
SDM perguruan tinggi adalah
memberikan kontribusi pada
suksesnya institusi perguruan tinggi.
Kunci untuk meningkatkan kinerja
organisasi kampus adalah dengan
memastikan aktivitas SDM dosen mendukung
usaha organisasi yang terfokus pada produktivitas, pelayanan dan kualitas.
Produktivitas SDM dosen diukur dari jumlah output kerja, peningkatan tanpa
henti pada produktivitas
kerja terutama dalam
kompetisi global. Produktivitas
kerja di sebuah perguruan
tinggi sangat dipengaruhi oleh usaha,
program dan sistem manajemen SDM perguruan tinggi itu sendiri (Arwildayanto:
2012).
Kualitas
SDM dosen merupakan
suatu barang/jasa dihasilkannya
dari tenaga dan pikirannya akan
sangat mempengaruhi kesuksesan jangka panjang suatu perguruan tinggi. Bila
perguruan tinggi memiliki
reputasi dosen sebagai penyedia jasa keilmuandan
kecendikiawanan yang kualitasnya
buruk, perkembangan dan
kinerja perguruan tinggi tersebut
akan berkurang (Arwildayanto: 2012).
Sedangkan pelayanan SDM dosen sering kali terlibat
pada proses produksi jasayang diberikan kepada custumer perguruan tinggi.
Manajemen SDM perguruan tinggi harus disertakan
pada saat merancang
proses tersebut. Pemecahan
masalah harus melibatkan semua
stakeholder perguruan tinggi, tidak hanya
pimpinan puncak, karena sering
kali membutuhkan perubahan
pada budaya perguruan
tinggi, gaya kepemimpinan dan
kebijakan SDM (Arwildayanto: 2012).
Untuk mencapai sasaran tersebut, manajemen SDM
perguruan tinggi haruslah terdiri
dari aktivitas-aktivitas yang
saling berkaitan, diantaranya
perencanaan dan analisis SDM,
kesetaraan kesempatan bekerja,
rekruitmen, pengembangan budaya kerja,
pendidikan dan pelatihan
(diklat), kompensasi, insentif,
kesehatan, keselamatan dan keamanan kerja, hubungan kerja yang kondusif dan
lain-lainnya. Semua aktivitas-aktivitas SDM yang ada di perguruan tinggi
dikelola oleh unit kerja Manajemen SDM perguruan tinggi.
Intinya manajemen SDM
perguruan tinggi harus
mampu menghadirkan dosen berkualitas
yang memiliki budaya
kerja professional (Arwildayanto:
2012).
4.
Tolok Ukur
Tiap-tiap organisasi mempunyai tolok ukur
sendiri-sendiri dalam mengelola SDM-nya, dilandasi atas tingkat urgensi dari
kebutuhan organisasi tersebut. Ada organisasi yang meletakkan perencanaan SDM
sebagai aspek yang paling penting dalam pengelolaan SDM. Ada juga organisasi
yang meletakkan fungsi pemeliharaan sebagai aspek terpenting. Namun, ada juga organisasi
yang melihat fungsi terakhir dari pengelolaan SDM, yaitu evaluasi sebagai yang
terpenting, terutama jika organisasi tersebut dalam masa-masa kejenuhan
(Irawanto: 2007).
Di era globalisasi, kemajuan teknologi dan kecepatan
arus informasi yang semakin tidak terbendung seolah mengarahkan organisasi pada
perubahan secara besar-besaran. Ada organisasi yang meletakkan fungsi
pemeliharaan pada urutan tertinggi pada pengelolaan SDM-nya, seperti training
besar-besaran pada sistem operasi komputer. Ada juga organisasi yang melihat
bahwa keadaan ini adalah tantangan pada aspek perencanaan, seperti rekruitmen,
dimana para rekruiter diharapakan dapat meletakkan syarat yang tinggi pada para
kandidat dalam keahlian IT (Irawanto: 2007).
Namun, ada juga organisasi yang justru menggenjot
sistem evaluasi kinerjanya agar karyawannya lebih kompetitif dalam menyikapi
perkembangan IT tersebut. Dari beberapa contoh di atas dapat kita lihat
bagaimana organisasi dengan kebutuhan mereka sendiri-sendiri meletakkan
pengelolaan SDM-nya dalam urutan kebutuhan organisasi mereka (Irawanto: 2007).
Pengelolaan SDM yang efektif sangat tergantung pada
desain perencanaan organisasi tersebut. Selain perencanaan jangka pendek yang
berorientasi pada pencapaian tujuan organisasi pada kegiatan operasional,
perencanaan jangka panjang juga harus diperhatikan. Pengalaman saya dalam
kegiatan-kegiatan konsultasi SDM di Jawa Timur membuahkan sebuah kesimpulan
bahwa sebagus apa pun perencanaan jangka pendek dan panjang sebuah organisasi,
jika tidak disertai dengan keinginan untuk refleksi diri terhadap keaadan riil
organisasi, tetap akan mengalami hambatan (Irawanto: 2007).
Untuk dapat merancang pengelolaan SDM dengan baik
sebenarnya bisa dimulai dengan konsep merancang 3J, yakni Job Description, Job Specification
dan Job Analysis sebaik mungkin. Dari
3J ini Job Analysis-lah penentu efektif atau tidaknya pengelolaan SDM di dalam
sebuah organisasi. Asumsinya, bagaimana sedini mungkin merancang cakupan kerja,
lingkungan kerja, tanggung jawab kerja, harapan kerja serta kebutuhan kerja
agar nantinya sesuai dengan kebutuhan organisasi (Irawanto: 2007).
Kegiatan Job Analysis yang baik haruslah didasarkan
pada tersedianya dokumen-dokumen yang valid dan up-to date (baik terkini serta
memperhatikan adanya perubahan lingkungan). Selain itu, "penilai" dan
"pengisi" dari kegiatan Job Analysis harus mengisi apa adanya,
seobjektif mungkin, jauh dari kepentingan apa pun. Jika syarat ini sudah
dipenuhi, di masa yang akan datang kegiatan pengelolaan SDM pada fungsi-fungsi
berikutnya seperti pemeliharaan (training, penggajian, gaji) dan fungsi
evaluasi (evaluasi kinerja, pemutusan hubungan kerja) akan berjalan dengan
efektif (Irawanto: 2007).
Jika kegiatan Job Analysis dilakukan dengan benar
maka diharapkan fungsi-fungsi SDM lainnya akan berjalan dengan sendirinya,
mengikuti bagaimana perubahan dari Job Analysis-nya. Intinya, bagaimana
ketersediaan dokumen Job Analysis yang up-to date dan dievaluasi secara
berkala. Saya tidak berasumsi bahwa fungsi SDM lainnya tidak penting. Yang
terpenting, bagaimana meletakkan fondasi ini (Job Analysis) pada urutan yang
urgent dan harus dievaluasi secara berkala (Irawanto: 2007).
Rata-rata organisasi melakukan perombakan evaluasi
pada kegiatan Job Analysis pada kisaran satu tahunan. Bahkan, ada yang lima
tahun tidak mengubah dokumen ini –bisa dibayangkan apa yang terjadi dalam waktu
sepanjang itu? Sedangkan, satu tahun pun tentu banyak sekali perubahan di luar.
Memang, sepertinya hal ini memakan biaya yang banyak, tapi saya percaya bahwa biaya
yang dikeluarkan untuk kegiatan ini tidak sebanyak jika organisasi salah
mendesain fungsi pengelolaan SDM-nya (Irawanto: 2007).
Pada akhirnya, walaupun kegiatan SDM selalu diakhir
dengan kegiatan yang menyakitkan sekali pun, semua orang akan legawa dan
menerima konsekuensinya, jika organisasi memenuhi syarat ini: tersedianya
kegiatan Job Analysis secara berkala dan memenuhi syarat-syarat di atas
(Irawanto: 2007).
LITERATURE
Altbach, Philip G. & Davis,
Todd M., 1999, Global Challenge and
National Response : Notes for an International Dialogue on Higher Education,
Annapolis Junction, MD : IIE Research Report.
Arwildayanto,
2012, “Manajemen Sumber Daya Manusia Peguruan Tinggi; Pendekatan Budaya Kerja
Dosen Profesional”, Ideas Publishing.
Chitnis, Suma, 1999, The Transformation of an Imperial Colony
into an Advanced Nation : India in Comparative Perspective, Annapolis
Junction, MD : IIE Research Report.
Dobre, Iuliana, 2015, Learning Management Systems for Higher
Education – An Overview of Available Options for Higher Education
Organizations, Procedia – Social and Behavioral Sciences 180, hal. 313-320
Eshiwani, George S., 1999, Higher Education in Africa : Challenges and
Strategies for the 21st Century, Annapolis Junction, MD : IIE Research
Report.
Hasibuan, Malayu
S.P., 2014, “Manajemen Sumber Daya Manusia”, Edisi Revisi, Cetakan XVIII,
Jakarta: Bumi Aksara.
Iatagan, Mariana, 2015, Challenges of the Romanian Higher Education
System in the Context of Globalization, Procedia – Social and Behavioral
Sciences 180, hal. 345-351
Irawanto, Dodi
Wirawan, 2007, “Tolok Ukur Efektivitas Pengelolaan SDM”, artikel internet
<http://www.portalhr.com> diakses pada 17 Januari 2016
Massyrova, dkk, 2015, Change in the Higher Education System of
Kazakhstan, Procedia – Social and Behavioral Sciences 185, hal. 49-53
Meric, Ismail, dkk, 2015, Managing Diversity in Higher Education :
USAFA Case, Procedia – Social and Behavioral Sciences 195, hal. 72-81.
Pangkalan Data Pendidikan Tinggi
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Rencana Strategis 2010-2014
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Sallis, Edwad,
2012, “Total Quality Management in
Education”, terj. Cetakan XVI, Jogjakarta: IRCiSoD.
Schwartzman, Simon, 1999, Latin America : National Responses to World
Challenges in Higher Education, Annapolis Junction, MD : IIE Research
Report
Sporn, Barbara, 1999, Current Issues and Future Priorities for
European Higher Education Systems, Annapolis Junction, MD : IIE Research
Report.
Sudjarwadi, 2013,
“Perencanaan dan Pengelolaan SDM di Perguruan Tinggi: Konsep dan Best Practices”, disampaikan dalam
Workshop Perencanaan dan Pengelolaan SDM di Perguruan Tinggi: Konsep dan Best practices, Sekolah Pasca Sarjana
UGM, 7 Desember 2013
Suharsaputra,
Uhar, 2008, “Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan”, artikel internet
<http://uharsputra.wordpress.com>
diakses pada 17 Januari 2016
Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
Weifang, Min, 1999, Global Challenge and Chinese Response,
Annapolis Junction, MD : IIE Research Report.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar