Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Kamis, 05 Januari 2017

Antara Fatwa, Saya dan Kampung

Oleh: Oumo Abdul Syukur

Fatwa itu kata bahasa arab, bila diindonesiakan artinya bisa "nasihat", "petuah", "jawaban" atau "pendapat".
Ini biasa dilakukan oleh lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh seorang Mufti atau Ulama, sebagai tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) yang tidak mempunyai keterikatan. Dengan demikian peminta fatwa tidak harus mengikuti isi atau hukum fatwa yang diberikan kepadanya.
Di atas hanya pengulangan saja, biar semua tahu duduk persoalan yang sebenarnya. Setiap pergantian tahun di bulan Desember, selalu saja kata fatwa ini menjadi bulan-bulanan orang. Bahkan saya dengar, ada yang dari tidur sampai tidur kembali mendebatkan soal ini. Apa sih urgensinya? Tentu ada bagi sebagian orang, dan ada juga yang menganggapnya tidak penting. Tergantung dari mana ia memulai memandang.
Begini kira-kira, sekalipun banyak yang melecehkan MUI, mempertanyakkan otoritasnya, menghina orang-orang di dalamnya, bahkan ada yang menyerukan untuk dibubarkan, tetap saja dipandang sebagian ummat Islam sebagai lembaga yang memiliki otoritas untuk mengeluarkan petuah-petuah keagamaan. Bukan hanya itu, dalam kasus dugaan penistaan kemarin, justru pihak kepolisian meminta fatwa MUI sebagai alasan utama diterima atau tidaknya pelaporan.
Saya juga masih memandang lembaga ini masih cukup penting untuk dipertahankan eksistensinya. Sekalipun ada poin-poin fatwa tertentu yang secara pribadi saya tidak pernah patuhi sampai hari ini, tapi juga tidak saya ikuti dengan cercaan terhadap kumpulan ulama-ulama tersebut dengan kata-kata yang tidak sejuk. Karena apa? Mereka sudah saya anggap memenuhi kualifikasi itu (otoritas).
Fatwa bukan agama, hukum-hukum agama (Islam) juga bukan hanya fatwa. Tetapi mengelurkan fatwa bukan pekerjaan semua orang (Islam). Ada Ilmunya, ada sandarannya, ada dalilnya, ada rujukannya dan lain-lain. Pertangungjawabannya pun bukan hanya di dunia tetapi juga di Akhirat. Itulah sebabnya, integritas moral, kesalehan sosial maupun individu, ilmu pengetahuan dalam soal agama, benar-benar harus diverifikasi bagi siapapun yang mengeluarkan Fatwa.
Dalam mengeluarkan Fatwa, tidak juga semua Ulama seragam menyepakatinya. Dan sudah berlangsung lama sampai hari ini, itu artiya kita masih punya pilihan-pilihan lain. Pilihan-pilihan itu bukan dipilih di atas rasa suka dan tidak sukanya kita terhadap Ulama atau lembaga tertentu, tetapi lebih pada kedalaman ilmu (agama) yang kita miliki, kesadaran atas manfaat dan mudharat dalam pilihan kita. Begitu kira-kira pandangan saya dalam memahami dan mematuhi fatwa Ulama.
Nah.. Setelah kita letakkan persoalan ini, mari kita bicara soal kepatuhan orang (Islam) terhadap fatwa. Saya berani katakan, tidak semua ummat Islam di Indonesia patuh dan taat terhadap "petuah" yg dikeluarkan oleh MUI (Toh..Firman Allah dan Sabda Nabi saja sering dilanggar oleh kita-kita). Cuma bukan kemudian Ulama-Ulama itu pensiun dari mengeluarkan fatwa atau nasihatnya, sepanjang agama ini masih ada, ummat masih ada (sekalipun hanya 1 orang saja). Tugas Ulama adalah meluruskan dan menyelamatkan aqidah ummatnya.
Dalam konteks Fatwa soal penggunaan atribut Natal, ucapan natal dll, banyak saya lihat di media sosial yang mendebatkannya. Ketidakseragaman pendapat Ulama-pun muncul dalam soalan ini, saya ingin menarik diri dari persoalan debatebel ini untuk menceritakan sedikit tentang apa yang terjadi di kampung saya. Karena cerita itu bukan basisnya teks, tapi realitas faktual yang terjadi sejak agama hadir sebagai pembeda antara Muslim dan Kristen di Alor NTT.
Begini ceritanya, hampir seluruh keluarga besar saya dari jalur Bapak adalah pemeluk Agama Nasrani, Kakak Kandung Bapak beserta 7 anaknya adalah Nasrani, ada juga adik sepupunya Bapak yang menjadi Penatua (Imam) di Gereja kecil di samping Kampung Muslim yang saya tinggali, ada kakek saya (saudara kandung Nenek dari jalur Bapak) saat ini mejadi Ketua Yayasan Gereja paling besar di Kalabahi (Tribuana). Mereka adalah Kakak, Bapak dan Kakek secara biologis yang mesti saya hormati, hargai dan menempatkan mereka sebagaimana agama memerintahkannya.
Kami tidak pernah sedikitpun mendebatkan soal aqidah, apalagi meributkannya sampai seluruh dunia tahu. Tidak penah ada diskusi lintas agama di antara kami, tidak perlu ada lembaga atau LSM yang hadir untuk mengedukasi kami tentang membangun rasa saling menghargai satu sama lain. Karena apa? Semua kami sudah menyadari dalam diam apa-apa yang mesti kami lakukan dan patuhi.
Tidak pernah juga keluarga saya dipaksa harus mengucapkan selamat Natal, apalagi dipaksakan untuk harus menggunakan atribut natal (di kampung belum ada kayaknya😂). Pun sebaliknya. Karena kami anggap ucapan dan simbol-simbol itu tidak lebih penting dari rasa saling mengharagi satu sama lain sebagai saudara sedarah, semua kehidupan kami jalani penuh toleransi sebelum MUI didirikan sampai hari ini, bahkan sampai dunia ini kiamat.
Yang saya lihat sejak kecil, Idul Fitri dan Natalan di kampung hapir sudah tidak diletakkan pada tempat sebagaimana orang-orang kota jalani, memandang dan menikmati. Bahwa itu sudah tidak dianggap sebagai upacara keagamaan, tetapi lebih pada pesta keluarga, ruang bersilaturrahim, membangun keakraban, memperkenalkan sanak famili dan lain sebagainya. Karenanya, dalam konteks ini hampir sebahagian besar keluarga lalai dalam mematuhi fatwa MUI. Pertimbangannya adalah lebih besar manfaatnya ketimbang mudharatnya.
Lantas, setelah jalan itu diambil, orang tua saya mencaci Ulama-ulama yang mengelurkan fatwa? Jangankan mencaci, membaca bahkan kata fatwa-pun mereka pasti belum pernah mendengarnya. Rutinitas keagamaan dijalankan dengan begitu "alakadar" tetapi menyimpan pesan yang sarat maknanya. Bahwa bersaudara secara biologis adalah sesuatu yang given tanpa pilihan, sedangkan beragama adalah pilihan sadar. Yang mestinya dijalankan dengan cara-cara sadar tanpa paksaan.
Yang Muslim menghargai yang Nasrani, Yang Nasrani menghargai yang Muslim. Jujur, ini mereka lakukan tanpa kata-kata, dalam diam mereka saling menghargai dan menghormati. Tidak juga karena anjuran siapapun (Ustad, pendeta dll) karena, ajaran untuk saling menghargai hadir sebelum Agama Formal di anut oleh masyarakat sekitar.
Silahkan menilai budaya orisnil kami yang telah terkonstruk sekian lama hingga hari ini. Kami tetap mengahrgai Ulama dan menempatkan mereka sebagaimana mestinya. Salam.

Tragedi Pulomas dan Kesalahan Berfikir Orang-Orang

Oleh: Oumo Abdul Syukur

Mereka menyekap seisi rumah di dalam kamar mandi lalu menewaskan 6 orang dalam sebuah tragedi berdarah di Pulomas, Jakarta Timur. Anda tahu siapa pelakunya? Dari marganya sudah bisa diidentifikasi darimana mereka, dari rekam jejaknya bisa disimpulkan apa profesi utamanya.

Bahwa mereka bermarga Batak itu tak bisa dibantah, bahwa yang mereka lakukan itu perbuatan sungguh tidak manusiawi adalah fakta, jika benar mereka adalah pelakunya harus dihukum seberat-beratnya. Tetapi bukan itu poinnya. Yang ingin saya sampaikan adalah orang dari suku dan marga apapun bisa dan dapat melakukan kejahatan atau kebaikan dalam bentuk apapun. Dalam masyarakat kita, logika generalisir acap kali digunakan untuk menghakimi orang dari ras, suku, dan etnis tertentu. Hal ini sungguh berbahaya bagi masa depan berbangsa kita.

Kenapa saya ingin cerita ini, saat awal-awal memanasnya soal pembunuhan di Pulomas dan para pelaku belum juga ditangkap, saya memesan jasa transportasi online untuk beberapa keperluan. Dalam perjalanan, sang driver membuka percakapan lebih dahulu dengan menceritakan kepada saya soal pembunuhan sadis yang katanya dekat tempat tinggalnya. Apa yang menarik dari cerita sang driver ini? Dia bilang kemungkinan besar pelakunya adalah orang-orang Timur yg disuruh oleh bosnya (Debt Collector). Saya cuma diam lalu mendengarkan cerita berapi-apinya. Untuk apa juga berdebat dengan pencari kerja halal semacam dia. Buang-buang waktu juga berdebat dengan masyarakat yang sejak lahirnya sudah diajarkan otaknya dengan ajaran-ajaran semi-rasis (ini istilah saya 😂).

Ini contoh kecil dari sekian kejadian yang banyak dialami orang lain. Bahwa mengidentikkan segala kejelekan pada suku tertentu saat melihat fisiknya itu bukan hal yang baik untuk diteruskan. Mengalamatkan segala tindakan kejahatan terhadap ras tertentu itu juga tidak sepenuhnya benar. Semua suku dan ras bisa berbuat baik begitupun sebaliknya. Yang mesti disalahkan adalah orang (pelaku), bukan memberikan stereotipe yang hampir permanen sampai hari ini.

Entah dari mana sumbernya,  bahasa ini pernah saya dengar, "jika anda tidak sanggup berbuat baik, cukup dengan tidak berbuat jahat". Maknanya adalah jika kita tak sanggup untuk menghilangkan stereotipe itu, cukup dengan diam tak usah berkata apa-apa untuk saling melukai sesama warga negara.

Manusia sebenarnya dilahirkan dalam kedaan "merdeka" dan punya "daulat" atas dirinya sendiri, sehingga potensi “kemerdekaan” kepemilikan "daulat" sepenuhnya menjadi tangungjawab masing-masing. Mengekang “kemerdekaan” sama dengan mengusahakan untuk tidak memilih menjadi manusia seutuhnya. Tetapi ada hal yang acap kali kita lupa, bahwa segala "kemerdekaan" dan "kedulatan" kita dibatasi oleh aturan-aturan Tuhan dan makhluknya yang lain. 

Memilih salah satu dari keduanya, berbuat jahat dan berbuat baik, pun tentu melahirkan konsekuensinya masing-masing. Berbuat baik meniscayakan hasil yang baik pula, begitupun sebaliknya berbuat buruk meniscayakan hasil yang buruk. Meski terkadang hasil yang akan kita tuai dari kedua pilihan tersebut memakan waktu yg cukup lama. Dan ini berlaku umum, atau berlaku bagi siapapun, dari suku dan ras manapun.

Begini pandangan saya, suatu niat baik yang tidak berlebihan atau sesuai dengan kebutuhan tetap disebut dengan kebaikan. Namun saat kebaikan sudah meningkat berlebihan (Over) akan berubah menjadi kejahatan. Contohnya begini kiria-kira, orang sakit mesti minum obat untuk mendapatkan kesembuhan, tetapi saat konsumsi obatnya melampaui dosis maka akan berakibat buruk bagi diriya. 

Persamannya adalah sesorang yang mencari rejeki untuk memenuhi kebutuhan hidupnya adalah baik. Namun ketika kebutuhannya sudah berubah menjadi keinginan yang berlebihan yang selanjutnya ia menghalalkan segala cara untuk memenuhi keinginannya, ia menjadi seorang penjahat. Itu kira-kira yang terjadi pada kasus Pulomas kemarin. Gaya hidup yang mewah atau berlebihan bisa membuat orang menjadi perampok yang berperilaku jahat.

Manusia menjadi jahat karena melakukan tindakan yang berlebihan, rasa ingin kaya dan menumpuk-numpuk harta tidak dimiliki oleh hewan. Rasa serakah juga tidak dimiliki oleh hewan, buktinya mereka tidak memerlukan kulkas atau membangun gudang untuk menimbun.

Itu artinya, semua manusia dari suku dan rasa manapun bisa berlaku baik dan buruk dalam waktu yang bersamaan. Stop generalisir lalu memberikan stereotipe bagi manusia dari kelompok manapun. Hong Yi (1880-1942) berkata "seorang memiliki kemampuan berbuat jahat, tapi tidak melakukannya, itulah Kebajikan. Memiliki kemampuan berbuat baik, tapi tidak melakukan, itulah Keburukan".

Apakah Besok Kita Masih Indonesia

Oleh: Oumo Abdul Syukur
Dahulu, di zaman sebelum dan awal-awal kemerdekaan, perdebataan para pendiri bangsa adalah masalah-masalah idiologis. Tentang kemana masa depan bangsa ini diarahkan, diletakkan lalu dibawa menuju kesejahateraan rakyat secara bersama-sama.

Itulah mengapa, rakyat bersatu padu  berjuang memerdekakan bangsa lalu mempertahankannya. Apakah mereka-mereka yang berjuang waktu itu kaya raya? Soekarno, Hatta, Syahrir, Agus Salim, Tan, Sudirman, Bung Tomo dll, mereka hidup di bawah garis kemiskinan bila kita mengikuti standar BPS sekarang.  

Rakyatpun demikian, bahkan lebih parah dari itu. Nyatanya kemiskinan dan nestapa justru membuat bertambah giroh mereka untuk berjuang bersama memerdekakan bangsa ini dari penjanjajah Zhaliman.

Kenapa demikian? Karena sekalipun mereka hidup dalam kemiskinan dan kepapaan, ada hal yang lebih penting untuk diperjuangkan. Yaitu berjuang untuk masa depan anak-cucunya, mewariskan bagsa yang memiliki kedaulatan penuh atas tanah tumpah darahnya.

Saat ini kita telah berjalan hampir seabad. Justru kezhaliman yang dahulu dibikin penjajah, dipraktekkan oleh segelintir manusia bangsa ini terhadap rakyatnya. Kezhaliman masuk dalam sistem, dalam proses distribusi kekuasaan dan dalam distribusi kekayaan. Saya justru melihat kezhaliman inilah menjadi sumber penyebab beberapa orang memprotes, beberapa daerah ingin memisahkan dirinya.

Dari semua sumber yang kita baca dan lihat, umur persatuan sebuah bangsa sesungguhnya terletak pada umur keadilan, keadilan dalam distribusi politik, keadilan dalam distribusi sosial, serta keadilan dalam distribusi kekayaan bersama.

Itulah sebabnya, saat pemerintah dengan sewenang-wenang mengeluarkan satu kebijakan yang akan berdampak secara perlahan terhadap rasa kepemilikan rakyat terhadap sebuah bangsa, terhadap tanah air dan ibu pertiwinya. Dan bila ini (kezhaliman) diparaktekkan secara terus menerus, rasa nasionalisme mereka akan dibuang ke keranjang sampah.

Ini bukan tanpa alasan, sejarah peradaban manusia dipenuhi oleh fenomena kebangunan lalu runtuh. Kebangunan setiap bangsa selalu saja dimulai dari soliditas internal, soliditas ini terbangun atas kesamaan nasib, satu tanah, bahasa, agama, idiologi, budaya, etnis dan lainya. Begitu mengalami keruntuhannya, yang pertama dialami adalah hancurnya soliditas. Kenapa bangunan soliditas bisa hancur? Sederhananya adalah tidak atau kurangnya intervensi negara terhadap distribusi kesejahateraan dan keadilan. Ini fenomena umum yang bisa kita dapati di setiap runtuhnya negara bangsa.

Pertanyaannya adalah akankah warisan leluhur yang paling berharga bernama Indonesia ini akan hancur seperti Soviet dan Yugoslavia? Harus diingat, bahwa kehancuran dua bangsa besar ini akibat gagalnya nasionalisme sebagai faktor perekat. Menurut saya, Nasionalisme atau rasa memiliki tanah air hanya akan tumbuh dalam setiap sanubari anak-anak bangsa dari Sabang sampai Merauke bila negara benar-benar hadir, bila pemerintahan konsisten menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya dalam melayani mereka. Kezhaliman hanya akan mencabut kepercayaan rakyat dalam sebuah bangsa, dan bukan tidak mungkin dalam waktu yang bisa ditentukan mereka akan bergerak mencari bentuk dan wadah lain.

Ini bukan kemudian menggugurkan rasa nasionalisme saya terhadap negeri ini, atau meragukan nasionalisme mereka-mereka yang terkena dampak dari kebijakan zholim. Tetapi bila sejarah adalah guru, maka mestinya kita harus belajar lebih banyak lagi tentangnya. Setelah itu kita proyeksikan bangsa ini agar bertahan sampai kiamat kelak, atau minimal selama kita masih hidup negeri ini masih bernama Indonesia.

Jangan mengaku paling Indonesia, tetapi produk kebijakan bersifat zholim terhadap pemberi daulat, jangan juga memukul dada paling nasionalis tapi tanah dan air negeri ini selalu saja dieksploitasi oleh asing. Tunjukkan bahwa kamu adalah pencinta Indonesia, diwujudkan dengan kebijakan yang berdiri di atas kepentingan rakyat. Wujudkan nasionalismemu dengan menasionalisasi segala sumber daya alam yg dikuasai asing, tunjukkan bahwa kita memang benar-benar bisa berdiri di atas kaki sendiri. Bahwa kita bisa berdaulat secara politik, bahwa kita bisa mandiri secara ekonomi, bahwa kita mesti punya keperibadian secara budaya (budaya Indonesia).

Caramu menjalakan amanah rakyat justru itu lebih penting dari Jabatan yang diberi. Kurangi pencitraan, sebab itu tidak menjamin Indonesia masih ada besok. #Salam.

Jumat, 25 November 2016

Sebagai Kader

Oleh: Abdul Syukur Oumo (Kader HMI Cabang Kupang)
Rabu, 23 November 2016

Organisasi ini sejak awal lahirnya mengajarkan kadernya untuk menjauhi transaksi yang menguntungkan diri pribadi, kelompok dan golongan. Menempatkan kepentingan bangsa dan ummat di atas segala-galanya. Itulah sebabnya, nilai dari kekaderan kita tergantung dari seberapa besar peran yang kita lakukan dalam berkontribusi untuk mendapatkan keadilan dan kemakmuran bagi semua.

Kita bukan organisasi profit, itu final. Sehingga bila ada sebahagian orang yg mencari keuntungan material dalam setiap etape perjuangan adalah anasir penghancur yg kian hari akan menghancurkan organisasi.

Jujur, sebagai kader beta merasa terpanggil untuk mengoreksi setiap penyelenggara organisasi yg mempraktekkan perbuatan hina. Kenapa hina? Elit yang mengambil keuntungan material dari mobilisasi kader itu sungguh perbuatan hina, sangat hina. Elit yang bergerak hanya karena digerakkan oleh tawaran uang dan kawan-kawannya adalah penghinaan terhadap institusi. Itu hina, dia sangat hina.

Cara mengemban amanah itu justru lebih penting dari jabatan yang diemban. Kepatuhan kita pada warisan orisinil organisasi adalah upaya mempertahankan eksistensi organisasi. Saat semua sudah lalai, saat semua sudah dijebak dan menjebakkan diri, di saat semua elit organisasi sudah memanfaatkan nama institusi untuk kepentingan perut dan di bawah perut, maka di saat itulah kehancuran organisasi sedang diwariskan.

Ini serius, sangat serius. Dampaknya bukan sekarang tetapi 5 sampai 10 tahun yang akan datang. Mereka mestinya sadar bahwa sedang menggali lubang besar untuk menenggelamkan organisasi ini. 

Orientasi berkader mestinya ditempatkan pada tempat yang semestinya. Lama kita berkader dapat dihitung dengan 10 jari tangan dan kaki. Karena itu, kesempatan memegang amanah harus dijalanakan dengan sunguh-sungguh.

Keresahan ini terkesan kampungan, tapi saat kita tidak juga segera berbenah, maka dalam tempo yang sesingkat-singkatnya kita hanya akan menyaksikan lalu membaca rentetan kejayaan sejarah senior-senior masa lalu.

Anda dan saya dibai'at dengan kalimat yang sama, bahwa semua pengabdian kita terhadap ummat dan bangsa mesti diorientasikan untuk menggapai ridho Allah. Saat ada yang keluar dari frame ini, maka semua usaha yang ia lakukan akan sisa-sia. Tak ada manfaatnya, tak ada gunanya, gugur nilai kadernya.

1000 atau 2000 yang didapatkan, akan habis besok atau lusa. Tetapi dampaknya akan menghancurkanmu secara perlahan-lahan. Jujur, dia akan hadir mengikis integritas kedirian. Tanam padi hari ini esok akan pungut padi, begitu hukum alam berlaku. Apa yg kau lakukan hari ini adalah investasi terhadap kehancuran masa depanmu, baik itu di dunia maupun akhirat kelak. Sebab apa? Kita semua telah disumpah atas nama Allah dan Rosul-Nya.

Kembalilah.. Mari kembalikan organisasi ini pada semangat awal lahirnya. Mengambil keuntungan dari reaksi ummat itu sungguh berbahaya, sangat berbahaya. Karena kita terlahir untuk ummat dan bangsa, bukan untuk siapa-siapa. Jika tak mau juga, berhenti saja sebagai kader.

Minggu, 13 November 2016

Problematika Partai Politik dan Sistem Kepartaian dalam Konteks Indonesia Baru



Oleh: Abdul Syukur Oumo (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Nasional)

Abstrak
            Indonesia mempunyai sejarah panjang dengan sistem multi partai. Selain kelebihan yang dimiliki, sistem ini memiliki beberapa kekurangan, Banyak penelitian mencoba menggali berbagai problematika partai politik dan sistem sistem kepartaian di Indonesia, beberapa di antaranya menujukkan bahwa partai politik di Indonesia saat ini tidak sepenuhnya menjalankan fungsinya dengan baik, sehingga muncul berbagai permasalahan (Ambardi: 2008, Dwipayana: 2009, Hanif: 2009, Prasetya: 2011).

Pendahuluan
Partai politik pertama-tama lahir di negara-negara Eropa Barat. Dengan luasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka partai politik telah lahir secara spontan dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di pihak lain (Budiardjo, 2008).
Manifestasi dari bangkitnya kesadaran nasional di Indonesia pada zaman colonial adalah dengan lahirnya Partai politik. Masa itu, semua organisasi baik yang memiliki tujuan sosial seperti Budi Utomo ataupun organisasi yang menganut asas politik sekuler seperti PKI, memainkan peran penting dalam berkembangnya pergerakan nasional. Keanekaragaman asas organisasi ini lahir karena memang Indonesia adalah bangsa yang beranekaragam. Pola ini dihidupkan kembali pada zaman merdeka dalam bentuk sistem multi partai.
Dalam maklumat pemerintahan tanggal 3 November 1945 dikemukakan bahwa: “Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat. Pemerintah berharap supaya partai-partai politik itu telah tersusun, sebelum dilangsungkannya pemilihan anggota Badan-badan Perwakilan Rakyat pada bulan Januari 1946. Dengan anjuran itu, berdirilah 10 partai politik. Maklumat 3 November 1945 dapat disebut sebagai tonggak awal demokrasi Indonesia.
Indonesia mempunyai sejarah panjang dengan berbagai jenis sistem multi partai. Sistem ini telah melalui beberapa tahap dengan bobot kompetitif yang berbeda-beda. Indonesia berupaya untuk mendirikan suatu sistem multi partai yang mengambil unsur-unsur positif dari pengalaman masa lalu dan menghindari unsur negatifnya. Sistem kepartaian multi partai dianggap cocok untuk masyarakat Indonesia, hal ini mengingat keanekaragaman budaya politik masyarakat Indonesia. Perbedaan tajam yang ada dalam masyarkat yaitu meliputi ras, agama, atau suku bangsa mendorong golongan-golongan masyarakat lebih cenderung menyalurkan ikatan-ikatan terbatasnya (primordial) dalam satu wadah yang sempit saja. Hal ini dijadikan alasan bahwasanya pola sistem multi partai lebih sesuai dengan pluralitas budaya politik daripada sistem politik tunggal maupun sistem politik dwi partai. (Budiardjo, 2008)
Namun, dalam perjalanannya hingga kini, banyak studi yang menunjukkan kekurangan sistem multipartai yang diterapkan di Indonesia. beberapa di antaranya The Making of the Indonesian Multiparty Sistem: A Cartelized Party System and Its Origin oleh Ambardi (2008), DEMOKRASI BIAYA TINGGI Dimensi Ekonomi dalam Proses Demokrasi Elektoral di Indonesia Pasca Orde Baru oleh Dwipayana (2009), Politik Klientelisme Baru dan Dilema Demokratisasi di Indonesia oleh Hanif (2009), serta Pergeseran Peran Ideologi dalam Partai Politik oleh Prasetya (2011). Beberapa penelitian ini memberikan hasil yang menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran fungsi partai politik di Indonesia pasca orde baru.
Survei Global Corruption Barometer oleh Transparency International tahun 2004 dan 2010 membuktikan parpol merupakan institusi terkorup di banyak negara. Besarnya biaya politik menjadi penyebab utama hal ini terjadi. Di Indonesia, banyak peristiwa kejahatan korupsi yang dilakukan oleh anggota dan pejabat partai politik, baik individual maupun kolektif. Sebut saja, kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI oleh Komisi IX DPR 1999-2004; kasus korupsi pejabat teras Partai Demokrat mulai dari ketua umum, bendahara umum, wakil sekjen, pimpinan komisi di DPR, dan bahkan dua menteri yang menjabat posisi strategis; LHI dengan kasus kebijakan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian; dan masih banyak lagi kasus lainnya.
Berdasarkan beberapa masalah yang dipaparkan di atas, maka selanjutnya dalam tulisan ini akan dibahas mengenai Problematika Partai Politik dan Sistem Kepartaian dalam Konteks Indonesia Baru.

Tinjauan Pustaka
Definisi dan Fungsi Partai Politik
Carl J. Friedrich (Surbakti, 1992) mendefiniskan partai politik adalah sekompok manusia yang terorganisir sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta materiil.
Menurut Sigmund Neumann (Budiarjo, 2008, p. 404), partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.
Definisi partai politik menurut Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagai berikut: Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Fungsi utama partai politik ialah mencari dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudkanprogram-program yang disusun berdasarkan ideologi tertentu. Cara yang digunakan oleh suatu partai politik dalam sistem politik demokrasi untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan ialah ikut serta dalam pemilihan umum, sedangkan cara yang digunakan partai tunggal dalam sistem politik totaliter berupa paksaan fisik dan psikologik oleh suatu diktatorial kelompok (komunis) maupun oleh dictatorial individu (fasis). (Surbakti, 1992, p. 149)
Menurut Surbakti (1992, p.149), selain fungsi utama tersebut, ada juga fungsi lain sebagai berikut: sosialisasi politik, rekrutmen politik, partisipasi politik, pemadu kepentingan, komunikasi politik, pengendalian konflik, serta control politik.
 
Sistem Kepartaian di Indonesia
Sistem kepartaian digolongkan menjadi tiga, yaitu sistem partai tunggal, sistem dwipartai, dan sistem banyak partai (Duverger dalam Surbakti, 1992, p. 158). Sistem satu partai, berarti hanya ada satu partai dalam suatu negara, biasanya sistem kepartaian ini diterapkan dalam negara sosialis. Pola partai tunggal menunjukkan suasana yang non-kompetitif karena semua partai harus menerima pimpinan dari partai yang dominan dan tidak dibenarkan untuk bersaing dengannya. Tujuannya adalah untuk menghindari gejolak-gejolak sosial politik yang menghambat usaha-usaha pembangunan atau untuk mengintegrasikan aneka golongan yang ada dalam suatu negara.
Sistem dwi-partai biasa diartikan bahwa terdapat dua partai diantara beberapa partai, yang berhasil memenangkan dua tempat teratas dalam pemilihan umum secara bergiliran dan demikian memiliki kedudukan yang dominan. Dalam sistem ini partai dibagi menjadi dua yakni, pertama, partai yang berkuasa (karena menang dalam pemilihan umum) dan yang kedua, partai oposisi (partai yang kalah dalam pemilu). Dalam sistem ini partai yang kalah bertindak sebagai loyal opposition bagi pihak yang menang. Dalam persaingan memenangkan pemilihan umum kedua partai akan berusaha untuk merebut dukungan orang-orang yang berada di tengah kedua partai tersebut dan sering dinamakan pemilih terapung (floating voter) atau pemilih tengah (median voter). Sistem dwi-partai ini dapat berjalan dengan baik apabila komposisi masyarakat bersifat homogen, adanya konsensus yang kuat dalam masyarat mengenai asas dan tujuan sosial dan politik, serta adanya kontinuitas sejarah.
Budiardjo (2008) menjelaskan bahwa untuk menjalankan sistem kepartaian ini, harus memenuhi 3 syarat, yaitu komposisi masyarakat yang homogen, adanya konsensus kuat dalam masyarakat mengenai asas dan tujuan sosial dan politik, dan adanya kontinuitas sejarah. Tiga syarat inilah yang tidak mampu dipenuhi oleh negara kita, Indonesia, ketika mencoba menjalankan sistem dwi-partai pada tahun 1968.
Untuk sistem banyak partai, terdapat lebih dari dua partai dalam suatu Negara. Formula mayoritas biasanya diterapkan. Pemilihan umum cenderung menghasilkan pemerintahan koalisi. Pemerintahan koalisi ini dianggap rapuh dan kurang menciptakan pemerintahan yang stabil. Oleh karena itu, formula mayoritas sengaja digunakan sebagai sarana menghasilkan pemerintahan yang didukung mayoritas sehingga stabil (Surbakti, 1992, pp. 229-230).
Surbakti (1992, p. 156) menyatakan dalam sistem banyak partai, sering ditemui partai kepentingan. Partai kepentingan merupakan suatu partai politik yang dibentuk dan dikelola atas dasar kepentingan tertentu, seperti petani, buruh, etnis, agama, atau lingkungan hidup yang secara langsung ingin berpartisipasi dalam pemerintahan. Partai ini kadangakala terdapat pula dalam sistem dua partai berkompetisi namum tak mampu mengakomodasikan sejumlah kepentingan dalam masyarakat.
Sistem Kepartaian Indonesia menganut sistem banyak partai. Aturan ini tersirat dalam pasal 6A(2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik Frasa gabungan partai politik mengisyaratkan paling tidak ada dua partai atatu lebih yang bergabung untuk mengusung seorang calon pasangan presiden dan wakil presiden dan bersaing dengan calon lain yang diusulkan partai-partai lain. Ini artinya sistem kepartaian di Indonesia harus diikuti oleh minimal 3 partai politik atau lebih.
Penerapan sistem banyak partai ini didukung oleh Budiardjo (2008). Bagi negara dengan pluralitas yang tinggi seperti Indonesia, sistem multi-partai dianggap lebih cocok. Sistem multi-partai bisa mengakomodasi lebih banyak keinginan dan kepentingan masyarakat yang biasanya hanya ingin menyalurkan keinginannya pada ikatan-ikatan terbatasnya (primordial). Namun sistem multi-partai mempunyai potensi yang lebih besar untuk melemahkan pemerintahan karena tidak ada partai yang dominan. Partai koalisi harus berkompromi ketika ada kebijakan-kebijakan pemerintah yang dikeluarkan. Partai koalisi dan partai oposisi juga sering tidak loyal pada perannya karena bisa saja dalam situasi tertentu mereka bertukar peran. Sehingga, stabilitas politik pun kurang terjaga. Pola multi-partai umumnya diperkuat oleh sistem pemilihan Perwakilan Berimbang (Proportional Representation) yang memberi kesempatan luas bagi pertumbuhan parta-partai dan golongan-golongan baru.
Sejak era kemerdekaan, Indonesia telah memenuhi amanat pasal 6A ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945. Melalui Keputusan Wakil Presiden No X/1949, pemilihan umum pertama tahun 1955 diikuti oleh 29 partai politik dan juga peserta independen.
Di era reformasi saat ini, ada ratusan partai politik di Indonesia. Aturan hukum yang mengatur partai politik adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik. Partai Politik yang lolos dan memenuhi syarat menjadi peserta dalam Pemilu 2009 berjumlah 48 partai politik. Sedangkan partai politik yang lolos dan memenuhi syarat menjadi peserta dalam Pemilu 2014 sebanyak 12 partai.

Problematika Partai Politik di Indonesia
Selepas lengsernya kekuasaan orde partai politik menemukan nafasnya lagi dalam kehidupan politik. Ruang yang begitu luas diberikan melalui undang-undang untuk membuat partai politik dan kondisi semacam yang terjadi di awal kemerdekaan dengan munculnya banyak sekali partai politik waktu itu dengan 171 partai politik peserta pemilu. Dengan banyaknya partai politik hal ini menandakan bahwa partisipasi masyarakat untuk berpolitik tinggi. Dengan tidak diberlakukannya asas tunggal pancasila sebagai ideologi maka hal memberikan ruang yang cukup bebas bagi masyarakat membuat partai yang berbeda. Ideologi merupakan hal yang terbuka bagi setiap individu, setiap orang mempunyai pandangan yang berbeda tentang suatu hal, setiap orang mempunyai impian tentang masyarakat yang ideal (Prasetya, 2011).
Ambardi (2008) dalam studi doktoralnya, The making of the Indonesian Multiparty System: A Cartelized Party System and Its Origin melakukan pemotretan terhadap dinamika partai politik, khususnya sistem kepartaian di Indonesia dalam konteks politik era reformasi yaitu pemilu legislatif 1999 dan 2004 dalam rangka memperebutkan kursi di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan keterlibatan partai politik di kancah pemilu Presiden 1999 oleh DPR dan Pemilu Presiden langsung oleh rakyat tahun 2004.
Temuan dalam disertasi Ambardi adalah bahwa di era reformasi terjadi perubahan perilaku partai politik yang secara signifikan pada akhirnya merubah sistem kepartaian di Indonesia. Perubahan perilaku partai politik tersebut berkaitan dengan faktor-faktor kepentingan setiap partai berkaitan dengan sumber daya kekuasaan dan ekonomi yang menarik perhatian seluruh partai politik untuk terlibat dan saling berinteraksi untuk mendapatkan bagian dari proses bagi-bagi kekuasaan dan keuntungan ekonomi dalam setiap keputusan politik pemerintah maupun lembaga legislatif. Hal tersebut pada akhirnya melahirkan sikap-sikap dari partai politik itu sudah tidak lagi memperbincangkan sesuatu yang bersifat ideologis kepartaian. Isu-isu ideologis hanya bersifat pinggiran dalam struktur kekuasaan, tergeser oleh perbincangan politik yang lebih konkrit berkaitan dengan kepentingan pembagian kekuasaan dan sumber daya ekonomi. Ideologi kepartaian hanya menjadi isu menonjol dalam arena pertarungan politik memperebutkan suara pemilih pada saat pemilu saja. Setelah pesta pemilu, partai politik segera melakukan penyesuaian diri di dalam lingkungan struktur politik yang mengakomodasi berbagai kepentingan partai untuk masuk ke dalam pusat-pusat kekuasaan.
Hanif (2009, p. 346) menyatakan pasca orde baru ketika partai politik turut menentukan nasib sumber daya publik maka partai kemudian menjelma menjadi patron baru. Dengan penguasaan terhadap akses sumberdaya publik tersebut, partai politik kemudian berusaha mendapatkan dukungan suara dan loyalitas pemilih atau konstituennya melalui politik kebudimanan.
Proses electoral yang berlangsung dalam konteks demokrasi multi partai kompetitif menghadirkan biaya politik yang semakin tinggi. Partai politik membutuhkan biaya untuk memenangkan proses kompetisi politik yang bersifat multilayer; pemilihan eksekutif, legislatif baik di level nasional maupun daerah. Dana politik digunakan dalam dua kepentingan: menjalankan organisasi partai dan mendanai kampanye. Kebutuhan akan dana politik yang semakin besar mengharuskan partai politik dan kandidat mencari cara untuk menggalang dana politik (Dwipayana, 2009, p. 276).
Masih menurut Dwipayana (2009, p. 277), sejalan dengan fragmentasi kekuatan politik di era pasca Orde Baru juga menjadikan konstelasi kelompok bisnis, sebagai actor yang turut membiayai proses politik, juga tidak homogeny. Hal ini mendorong pola hubungan yang transaktif antara kelompok bisnis dengan kekuatan politik tertentu. Dalam hubungan transaktif, kekuatan politik akan mencari kelompok bisnis dengan penawaran tertinggi. Sebaliknya kekuatan bisnis akan cenderung mendukung kekuatan politik yang potensial menang dalam kompetisi. Fenomena demokrasi biaya tinggi tentu sangat mengkhawatirkan bagi proses konsolidasi demokrasi di Indonesia.

Pembahasan
Sistem kepartaian yang multi partai dalam era reformasi kali ini memunculkan banyak sekali partai politik  dengan  beragam  ideologi  yang mencapai ratusan partai politik. Pada masa ini ada  kemiripan  antara  masa  awal  reformasi  ini  dengan  November  1945,  masa ketika partai politik tumbuh subur. Kemiripan ini terjadi karena ada hubungan antara apa yang terjadi beberapa tahun sebelum ini dengan kejadian sebelum November 1945. Adanya euphoria berhasil keluar dari suatu kurun panjang represi politik, banyaknya kepentingan politik yang sodok menyodok berebut posisi, dan tidak adanya otoritas politik yang dapat mencegah hal itu.
Saat ini terdapat beberapa partai politik dengan perolehan suara yang cukup seimbang dengan ideology masing-masing partai berbeda. Sedangkan aturannya, partai politik atau gabungan partai politik yang dapat mengajukan pasangan capres - cawapres adalah partai politik yang memperoleh kursi di DPR paling sedikit 20 persen. Sistem kepartaian yang seperti ini membuat situasi politik menjadi rumit karena terjadi koalisi-koalisi partai politik yang bergantung kepada kepentingan partai-partai politik saja.
Secara umum, partai memerlukan dana besar untuk memenuhi kebutuhan campaign finance dan party finance. Party finance adalah keuangan parpol yang diperoleh dan digunakan untuk menjalankan kegiatan partai di luar masa kampanye, termasuk menggerakkan infrastruktur dan jaringan partai. Adapun campaign finance merupakan keuangan parpol yang diperoleh dan digunakan selama masa kampanye. Besarnya dana yang dibutuhkan partai tidak sebanding dengan sumber penerimaan yang dibolehkan menurut aturan. Menurut UU, ada tiga sumber keuangan partai: iuran anggota; sumbangan yang sah menurut hukum; dan bantuan keuangan dari APBN/APBD. Iuran anggota praktis tidak berjalan maksimal. Tingkat party identification yang rendah, kredibilitas partai yang buruk, sistem membership yang amburadul, membuat  partai sulit berharap dapat dana dari jalur ini. Pengurus partai juga malas memaksimalkan sumbangan anggota karena lebih memilih jalur pintas yang cepat menghasilkan dana segar untuk partai. Sementara itu, bantuan negara untuk keuangan partai tentu tidak mampu menjadi harapan utama pengurus partai.
Peraturan Pemerintah tentang Bantuan Keuangan Partai Politik (PP No 5/2009) dan perubahannya (PP No 83/2012) merumuskan formula untuk menentukan besaran bantuan. Ini bunyinya: "Besaran bantuan per suara peraih kursi DPR/DPRD ditentukan oleh besaran APBN/APBD periode sebelumnya dibagi perolehan suara partai politik yang memperoleh kursi DPR/DPRD periode sebelumnya".
Atas dasar formula itu, sembilan partai peraih kursi DPR hasil Pemilu 2009 mendapat bantuan Rp 108 per suara; sedangkan nilai per suara partai peraih kursi DPRD berbeda-beda untuk setiap daerah. Total uang yang diterima sembilan partai peraih kursi DPR Rp 9,2 miliar. Bantuan Rp 108 per suara itu jika dikonversikan ke 10 partai peraih kursi DPR hasil Pemilu 2014 mencapai Rp 13,2 miliar (Kompas, 10/3/2015).
Seiring dengan makin meningkatnya biaya operasional partai dan kebutuhan kampanye, partai lalu bergantung pada sumbangan pihak ketiga, baik perorangan maupun perusahaan. Inilah yang kemudian memicu sehingga terjadinya pola hubungan transaktif antara partai dan kelompok bisnis tertentu.
Akhir-akhir ini juga sering didengar istilah “kartel” dalam dunia politik, yang sebenarnya bermula dari dunia ekonomi. Kartel bertujuan mengontrol sesuatu misalnya tujuan mengontrol harga. Kartel hanya hidup dalam masyarakat kapitalis. Telah terjadi pergeseran istilah kartel dari konsep ekonomi ke konsep politik. Sistem politik di Indonesia memungkinkan semua partai membentuk oligarkhi dan makin lama praktek-praktek ini makin menguat, sehingga gejala yang muncul memperlihatkan kecenderungan hanya pihak yang mengontrol kapital yang akan mendapatkan suara.
Akibatnya, sistem politik digerakkan oleh uang. Kebijakan-kebijakan politik yang dihasilkan tak lebih merupakan perselingkuhan antara elit politik dan pemilik kapital. Sumbangan yang diberikan pada partai dianggap sebagai investasi dengan harapan elit bisnis mendapat imbalan (return) berupa kuasa atau proyek. Praktek politik kartel di Indonesia inilah yang menyebabkan merajalelanya korupsi secara besar-besaran dengan merampok uang negara dan mengorbankan kesejahteraan warga negara yang dilakukan oleh komplotan yang bersarang di partai-partai politik.
Partai politik tidak lagi menjalankan fungsi-fungsinya secara baik, terutama fungsinya sebagai alat perjuangan aspirasi politk rakyat. Sebagian besar panggung-panggung kampanye dihadiri massa karena ada proses transaksional menggunakan alat tukar benda atau uang. Tidak sedikit juga hadir dikarenakan adanya artis nasional atau hiburan lainnya. Elit-elit politik juga tidak ada upaya memperbaiki fungsi ini. Hanya sedikit elit berpolitik menggunakan wadah partai politik sebagai alat perjuangan, terbukti dari banyaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh elit partai poltik.
 
Kesimpulan
Indonesia merupakan negara yang menerapkan sistem multi partai, didasarkan pada kondisi bangsa yang begitu beragam. Amanat konstitusi secara tersirat mengharuskan pemberlakuan sistem ini. Saat ini, ada begitu banyak partai politik di Indonesia, seharusnya itu berarti semakin banyak aspirasi rakyat yang mampu disuarakan ke parlemen. Namun, kondisi bangsa hari ini tidak demikian, biaya demokrasi yang tinggi menjadi penyebab banyak fungsi partai politik tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Bukan itu saja, akibat lebih fatal lainnya adalah negara banyak mengalami kerugian akibat korupsi oleh elit partai yang duduk di parlemen maupun pemerintahan.

Daftar Pustaka

Ambardi, K. (2008). The Making of the Indonesian Multiparty Sistem: A Cartelized Party System and Its Origin (Doctoral Dissertation, The Ohio State University).
 
Budiardjo, M. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik - Edisi Revisi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Dwipayana, A. A. (2009). DEMOKRASI BIAYA TINGGI Dimensi Ekonomi dalam Proses Demokrasi Elektoral di Indonesia Pasca Orde Baru. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 12 Nomor 3, halaman 257-390.

Hanif, H. (2009). Politik Klientelisme Baru dan Dilema Demokratisasi di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 12 Nomor 3, halaman 257-390.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 83 tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik

Prasetya, I. Y. (2011). Pergeseran Peran Ideologi dalam Partai Politik. Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan Volume I Nomor 1, halaman 30-40.

Surbakti, R. (1992). Memahami Ilmu Politik. Bandung: Grasindo

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

“KENDALA RISET DAN INOVASI DI INDONESIA”



Artikel dengan judul “Riset dan Inovasi Tak Terarah” yang diterbitkan oleh Harian Kompas tanggal 19 September 2016 memuat beberapa permasalahan penting mengenai riset di Indonesia. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain berkaitan dengan anggaran riset, dominasi teknologi negara lain di Indonesia, fasilitas riset, serta persoalan koordinasi antar-lembaga riset di Indonesia.
Anggaran riset di Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN dapat dilihat pada grafik berikut:
 Gambar 1. Perbandingan Anggaran Riset dan Pengembangan (% PDB) Beberapa Negara di ASEAN
 Sumber: Data UNESCO 2016

 Indonesia merupakan negara yang anggaran riset dan pengembangannya paling kecil di antara beberapa negara tetangga tersebut, yakni hanya 0,08% PDB, sementara Singapura yang secara geografis ukuran wilayahnya tidak ada apa-apanya dibanding Indonesia, serta jumlah penduduk yang jauh lebih sedikit dari Indonesia telah mengalokasikan 2% PDB untuk anggaran riset dan pengembangan. Padahal menurut hasil Penelitian Suratmaja (2013), ada korelasi positif antara peningkatan anggaran riset dan pengembangan teknologi dengan jumlah Paten Internasional yang dihasilkan. Sangat wajar jika jumlah paten Internasional yang dimiliki Indonesia jauh lebih kecil dibandingkan negara lain seperti terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Jumlah Paten Internasional Tahun 2009-2011 Beberapa Negara di Asia
Sumber: Laporan Tahunan 2015 Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi

Gambar 3. Jumlah Publikasi Internasional Tahun 2005-2014 Beberapa Negara di ASEAN
Sumber: Laporan Tahunan 2015 Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi

Selain tertinggal dalam jumlah paten internasional, Indonesia juga tertinggal jauh dari Malaysia dalam hal jumlah publikasi internasional. Jumlah publikasi internasional Malaysia pada tahun 2014 sebesar 4,6 kali lipat jumlah publikasi Internasional Indonesia. Jika kita merujuk pada perbedaan anggaran riset kedua negara ini, yang mana anggaran riset Malaysia sebesar 1,3% dari PDB, maka dapat dikatakan bahwa salah satu penyebab ketertinggalan Indonesia dalam hal jumlah paten dan publikasi internasional tentu adalah anggaran riset.
Anggaran riset yang hanya 0,08% dari PDB ini saja sudah mengakibatkan jumlah paten dan publikasi internasional Indonesia begitu rendah, belum lagi ditambah pemotongan anggaran berdasarkan APBNP 2016. Melalui Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2016 tertanggal 26 Agustus 2016, Presiden menginstruksikan 85 Kementerian/Lembaga (K/L) untuk melakukan langkah-langkah penghematan dalam rangka pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) Tahun Anggaran 2016. Dalam lampiran Inpres tersebut tertuang besaran penghematan dari masing-masing K/L, hanya 3 dari 87 K/L yang tidak memperoleh penghematan APBN-P 2016, yaitu MPR RI, DPR RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.
Secara rinci, penghematan untuk Kementerian/Lembaga yang berkaitan langsung dengan riset sebagai berikut: Kemenristek dan Dikti Rp 1,358 triliun; Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Rp 17,674 miliar, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Rp 11,503 miliar; Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Rp 20,832 miliar; Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) RI 38,292 miliar; serta Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) Rp 6,510 miliar.
Dengan semakin kecilnya anggaran riset, bukan hanya mengganggu pelaksanaan riset yang telah direncanakan, namun juga berdampak pada fasilitas riset. Tidak mungkin fasilitas riset dapat disempurnakan jika dengan anggaran yang telah dipangkas itu lembaga riset harus mengubah rencana dan menjadwal ulang agenda riset. Jika anggaran riset Indonesia tidak mengalami peningkatan pada tahun-tahun yang akan datang, maka kondisi riset Indonesia juga dapat diprediksi akan tetap sama dengan keadaan hari ini.
Satu masalah lagi yang luput dibahas dalam artikel “Riset dan Inovasi Tak Terarah” adalah masalah jumlah peneliti di Indonesia. Dalam Rencana Strategis LIPI 2015-2019, disebutkan bahwa pada tahun 2013, tercatat rasio tenaga peneliti Indonesia, baik yang ada di lembaga penelitian pemerintah, perguruan tinggi, maupun di lembaga penelitian swasta, hanya 3,57 peneliti per 10.000 penduduk. Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan Malaysia yang mencapai rasio 16,43 atau Singapura 64,38.
Solusi yang dapat ditawarkan untuk mengakhiri permasalahan ini adalah dengan menambah anggaran riset. Rasio anggaran IPTEK yang memadai, menurut UNESCO, sebesar 2% dari PDB. Jika ingin mengikuti rasio anggaran ini, mungkin dirasakan terlalu membebani APBN. Alternatif solusinya adalah dengan melibatkan sektor bisnis industry untuk menopang anggaran tersebut. Namun, hal ini tidak mudah untuk dilakukan, mengingat 58% sumber teknologi Indonesia masih berasal dari luar negeri. Jika produk anak bangsa di dalam negeri bisa diberdayakan dengan baik, impor teknologi dari luar dikurangi secara perlahan, dan bersamaan dengan itu anggaran untuk riset dan pengembangan baik yang berasal dari pemerintah maupun dari sector industry ditingkatkan, sambil terus mendorong penambahan jumlah peneliti di Indonesia, maka perlahan-lahan permasalahan riset Indonesia bisa dipecahkan.
Solusi lain yakni dengan mencontoh strategi yang dilakukan negara tetangga Malaysia, yaitu dengan mendirikan Lembaga Riset Pemerintah, yaitu Mimos Berhad, lembaga riset ini lahir dari konsorsium beberapa peneliti dari berbagai kampus di Malaysia pada tahun 1980, diantaranya adalah Dr. Tengku Mohd Azzman Shariffadeen (Dekan Fakultas Teknik Universiti Malaya), Dr. Mohamed Awang Lah (Universiti Malaya), Dr. Muhammad Ghazie Ismail (Universiti Sains Malaysia), Dr. Mohd Arif Nun (Universiti Teknologi Malaysia) and Dr. Mohd Zawawi Ismail (Universiti Kebangsaan Malaysia). Para Peneliti dari berbagai kampus tersebut telah bersinergi untuk membangun sebuah lembaga penelitian di bidang teknologi mikroelektronika untuk mendukung pertumbuhan Industri dalam negeri Malaysia. Jika strategi ini diterapkan di Indonesia, dengan meleburkan Balitbang yang ada di berbagai kementerian teknis dengan lembaga-lembaga riset pemerintah, maka kegiatan riset lintas bidang akan saling mendukung, selain itu anggaran riset juga akan lebih focus.


DAFTAR PUSTAKA
Data UNESCO, 2016, Anggaran Riset dan Pengembangan (Persentase terhadap PDB) Berbagai Negara di Dunia, <http://www. databank.worldbank.org/data/reports.aspx?source=2&series=GB.XPD.RSDV.GD.ZS&country=MYS> (diakses 12 Oktober 2016)
Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2016 tertanggal 26 Agustus 2016
Laporan Tahunan 2015 Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi
Mimos Berhad dalam http://en.wikipedia.org/wiki/MIMOS
Redaksi Harian Kompas, Riset dan Inovasi Tak Terarah, Kompas, 19 September 2016, hal.1
Rencana Strategis Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 2015-2019
Suratmaja, A.C., 2013, Korelasi Peningkatan Anggaran Riset dengan Jumlah Penelitian dan Paten Internasional yang Dihasilkan di antara Negara Indonesia, Malaysia dan Thailand, Academia.edu (internet). < http://www.academia.edu/4643709> (diakses 12 Oktober 2016).