Artikel
dengan judul “Riset dan Inovasi Tak Terarah” yang diterbitkan oleh Harian
Kompas tanggal 19 September 2016 memuat beberapa permasalahan penting mengenai
riset di Indonesia. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain berkaitan
dengan anggaran riset, dominasi teknologi negara lain di Indonesia, fasilitas
riset, serta persoalan koordinasi antar-lembaga riset di Indonesia.
Anggaran
riset di Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN dapat dilihat pada
grafik berikut:
Gambar 1.
Perbandingan Anggaran Riset dan Pengembangan (% PDB) Beberapa Negara di ASEAN
Sumber: Data UNESCO 2016
Indonesia merupakan negara yang anggaran riset
dan pengembangannya paling kecil di antara beberapa negara tetangga tersebut,
yakni hanya 0,08% PDB, sementara Singapura yang secara geografis ukuran
wilayahnya tidak ada apa-apanya dibanding Indonesia, serta jumlah penduduk yang
jauh lebih sedikit dari Indonesia telah mengalokasikan 2% PDB untuk anggaran
riset dan pengembangan. Padahal menurut hasil Penelitian Suratmaja (2013), ada
korelasi positif antara peningkatan anggaran riset dan pengembangan teknologi
dengan jumlah Paten Internasional yang dihasilkan. Sangat wajar jika jumlah
paten Internasional yang dimiliki Indonesia jauh lebih kecil dibandingkan
negara lain seperti terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Jumlah
Paten Internasional Tahun 2009-2011 Beberapa Negara di Asia
Sumber: Laporan Tahunan 2015 Kementerian Riset
Teknologi dan Pendidikan Tinggi
Gambar 3. Jumlah
Publikasi Internasional Tahun 2005-2014 Beberapa Negara di ASEAN
Sumber: Laporan Tahunan 2015 Kementerian Riset
Teknologi dan Pendidikan Tinggi
Selain
tertinggal dalam jumlah paten internasional, Indonesia juga tertinggal jauh
dari Malaysia dalam hal jumlah publikasi internasional. Jumlah publikasi
internasional Malaysia pada tahun 2014 sebesar 4,6 kali lipat jumlah publikasi
Internasional Indonesia. Jika kita merujuk pada perbedaan anggaran riset kedua
negara ini, yang mana anggaran riset Malaysia sebesar 1,3% dari PDB, maka dapat
dikatakan bahwa salah satu penyebab ketertinggalan Indonesia dalam hal jumlah
paten dan publikasi internasional tentu adalah anggaran riset.
Anggaran
riset yang hanya 0,08% dari PDB ini saja sudah mengakibatkan jumlah paten dan
publikasi internasional Indonesia begitu rendah, belum lagi ditambah pemotongan
anggaran berdasarkan APBNP 2016. Melalui Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2016
tertanggal 26 Agustus 2016, Presiden menginstruksikan 85 Kementerian/Lembaga
(K/L) untuk melakukan langkah-langkah penghematan dalam rangka pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) Tahun Anggaran 2016. Dalam
lampiran Inpres tersebut tertuang besaran penghematan dari masing-masing K/L, hanya
3 dari 87 K/L yang tidak memperoleh penghematan APBN-P 2016, yaitu MPR RI, DPR
RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) RI.
Secara
rinci, penghematan untuk Kementerian/Lembaga yang berkaitan langsung dengan
riset sebagai berikut: Kemenristek dan Dikti Rp 1,358 triliun; Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Rp 17,674 miliar, Badan Tenaga Nuklir Nasional
(BATAN) Rp 11,503 miliar; Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Rp
20,832 miliar; Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) RI 38,292
miliar; serta Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) Rp 6,510 miliar.
Dengan semakin kecilnya
anggaran riset, bukan hanya mengganggu pelaksanaan riset yang telah
direncanakan, namun juga berdampak pada fasilitas riset. Tidak mungkin
fasilitas riset dapat disempurnakan jika dengan anggaran yang telah dipangkas
itu lembaga riset harus mengubah rencana dan menjadwal ulang agenda riset. Jika
anggaran riset Indonesia tidak mengalami peningkatan pada tahun-tahun yang akan
datang, maka kondisi riset Indonesia juga dapat diprediksi akan tetap sama
dengan keadaan hari ini.
Satu masalah lagi yang
luput dibahas dalam artikel “Riset dan Inovasi Tak Terarah” adalah masalah
jumlah peneliti di Indonesia. Dalam Rencana Strategis LIPI 2015-2019,
disebutkan bahwa pada tahun 2013, tercatat rasio tenaga peneliti Indonesia,
baik yang ada di lembaga penelitian pemerintah, perguruan tinggi, maupun di
lembaga penelitian swasta, hanya 3,57 peneliti per 10.000 penduduk. Jumlah ini
jauh lebih kecil dibandingkan Malaysia yang mencapai rasio 16,43 atau Singapura
64,38.
Solusi yang dapat
ditawarkan untuk mengakhiri permasalahan ini adalah dengan menambah anggaran
riset. Rasio anggaran IPTEK yang memadai, menurut UNESCO, sebesar 2% dari PDB.
Jika ingin mengikuti rasio anggaran ini, mungkin dirasakan terlalu membebani
APBN. Alternatif solusinya adalah dengan melibatkan sektor bisnis industry untuk
menopang anggaran tersebut. Namun, hal ini tidak mudah untuk dilakukan,
mengingat 58% sumber teknologi Indonesia masih berasal dari luar negeri. Jika
produk anak bangsa di dalam negeri bisa diberdayakan dengan baik, impor
teknologi dari luar dikurangi secara perlahan, dan bersamaan dengan itu
anggaran untuk riset dan pengembangan baik yang berasal dari pemerintah maupun
dari sector industry ditingkatkan, sambil terus mendorong penambahan jumlah
peneliti di Indonesia, maka perlahan-lahan permasalahan riset Indonesia bisa
dipecahkan.
Solusi lain yakni
dengan mencontoh strategi yang dilakukan negara tetangga Malaysia, yaitu dengan
mendirikan Lembaga Riset Pemerintah, yaitu Mimos Berhad, lembaga riset ini
lahir dari konsorsium beberapa peneliti dari berbagai kampus di Malaysia pada
tahun 1980, diantaranya adalah Dr. Tengku Mohd Azzman Shariffadeen (Dekan
Fakultas Teknik Universiti Malaya), Dr. Mohamed Awang Lah (Universiti Malaya),
Dr. Muhammad Ghazie Ismail (Universiti Sains Malaysia), Dr. Mohd Arif Nun (Universiti
Teknologi Malaysia) and Dr. Mohd Zawawi Ismail (Universiti Kebangsaan
Malaysia). Para Peneliti dari berbagai kampus tersebut telah bersinergi untuk
membangun sebuah lembaga penelitian di bidang teknologi mikroelektronika untuk
mendukung pertumbuhan Industri dalam negeri Malaysia. Jika strategi ini
diterapkan di Indonesia, dengan meleburkan Balitbang yang ada di berbagai
kementerian teknis dengan lembaga-lembaga riset pemerintah, maka kegiatan riset
lintas bidang akan saling mendukung, selain itu anggaran riset juga akan lebih
focus.
DAFTAR PUSTAKA
Data UNESCO, 2016,
Anggaran Riset dan Pengembangan (Persentase terhadap PDB) Berbagai Negara di
Dunia, <http://www. databank.worldbank.org/data/reports.aspx?source=2&series=GB.XPD.RSDV.GD.ZS&country=MYS>
(diakses 12 Oktober 2016)
Instruksi Presiden
Nomor 8 Tahun 2016 tertanggal 26 Agustus 2016
Laporan Tahunan 2015
Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi
Mimos Berhad dalam http://en.wikipedia.org/wiki/MIMOS
Redaksi Harian Kompas,
Riset dan Inovasi Tak Terarah, Kompas, 19 September 2016, hal.1
Rencana Strategis Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
2015-2019
Suratmaja, A.C., 2013, Korelasi
Peningkatan Anggaran Riset dengan Jumlah Penelitian dan Paten Internasional yang
Dihasilkan di antara Negara Indonesia, Malaysia dan Thailand, Academia.edu
(internet). < http://www.academia.edu/4643709>
(diakses 12 Oktober 2016).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar