Jumat, 25 November 2016

Sebagai Kader

Oleh: Abdul Syukur Oumo (Kader HMI Cabang Kupang)
Rabu, 23 November 2016

Organisasi ini sejak awal lahirnya mengajarkan kadernya untuk menjauhi transaksi yang menguntungkan diri pribadi, kelompok dan golongan. Menempatkan kepentingan bangsa dan ummat di atas segala-galanya. Itulah sebabnya, nilai dari kekaderan kita tergantung dari seberapa besar peran yang kita lakukan dalam berkontribusi untuk mendapatkan keadilan dan kemakmuran bagi semua.

Kita bukan organisasi profit, itu final. Sehingga bila ada sebahagian orang yg mencari keuntungan material dalam setiap etape perjuangan adalah anasir penghancur yg kian hari akan menghancurkan organisasi.

Jujur, sebagai kader beta merasa terpanggil untuk mengoreksi setiap penyelenggara organisasi yg mempraktekkan perbuatan hina. Kenapa hina? Elit yang mengambil keuntungan material dari mobilisasi kader itu sungguh perbuatan hina, sangat hina. Elit yang bergerak hanya karena digerakkan oleh tawaran uang dan kawan-kawannya adalah penghinaan terhadap institusi. Itu hina, dia sangat hina.

Cara mengemban amanah itu justru lebih penting dari jabatan yang diemban. Kepatuhan kita pada warisan orisinil organisasi adalah upaya mempertahankan eksistensi organisasi. Saat semua sudah lalai, saat semua sudah dijebak dan menjebakkan diri, di saat semua elit organisasi sudah memanfaatkan nama institusi untuk kepentingan perut dan di bawah perut, maka di saat itulah kehancuran organisasi sedang diwariskan.

Ini serius, sangat serius. Dampaknya bukan sekarang tetapi 5 sampai 10 tahun yang akan datang. Mereka mestinya sadar bahwa sedang menggali lubang besar untuk menenggelamkan organisasi ini. 

Orientasi berkader mestinya ditempatkan pada tempat yang semestinya. Lama kita berkader dapat dihitung dengan 10 jari tangan dan kaki. Karena itu, kesempatan memegang amanah harus dijalanakan dengan sunguh-sungguh.

Keresahan ini terkesan kampungan, tapi saat kita tidak juga segera berbenah, maka dalam tempo yang sesingkat-singkatnya kita hanya akan menyaksikan lalu membaca rentetan kejayaan sejarah senior-senior masa lalu.

Anda dan saya dibai'at dengan kalimat yang sama, bahwa semua pengabdian kita terhadap ummat dan bangsa mesti diorientasikan untuk menggapai ridho Allah. Saat ada yang keluar dari frame ini, maka semua usaha yang ia lakukan akan sisa-sia. Tak ada manfaatnya, tak ada gunanya, gugur nilai kadernya.

1000 atau 2000 yang didapatkan, akan habis besok atau lusa. Tetapi dampaknya akan menghancurkanmu secara perlahan-lahan. Jujur, dia akan hadir mengikis integritas kedirian. Tanam padi hari ini esok akan pungut padi, begitu hukum alam berlaku. Apa yg kau lakukan hari ini adalah investasi terhadap kehancuran masa depanmu, baik itu di dunia maupun akhirat kelak. Sebab apa? Kita semua telah disumpah atas nama Allah dan Rosul-Nya.

Kembalilah.. Mari kembalikan organisasi ini pada semangat awal lahirnya. Mengambil keuntungan dari reaksi ummat itu sungguh berbahaya, sangat berbahaya. Karena kita terlahir untuk ummat dan bangsa, bukan untuk siapa-siapa. Jika tak mau juga, berhenti saja sebagai kader.

Minggu, 13 November 2016

Problematika Partai Politik dan Sistem Kepartaian dalam Konteks Indonesia Baru



Oleh: Abdul Syukur Oumo (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Nasional)

Abstrak
            Indonesia mempunyai sejarah panjang dengan sistem multi partai. Selain kelebihan yang dimiliki, sistem ini memiliki beberapa kekurangan, Banyak penelitian mencoba menggali berbagai problematika partai politik dan sistem sistem kepartaian di Indonesia, beberapa di antaranya menujukkan bahwa partai politik di Indonesia saat ini tidak sepenuhnya menjalankan fungsinya dengan baik, sehingga muncul berbagai permasalahan (Ambardi: 2008, Dwipayana: 2009, Hanif: 2009, Prasetya: 2011).

Pendahuluan
Partai politik pertama-tama lahir di negara-negara Eropa Barat. Dengan luasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka partai politik telah lahir secara spontan dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di pihak lain (Budiardjo, 2008).
Manifestasi dari bangkitnya kesadaran nasional di Indonesia pada zaman colonial adalah dengan lahirnya Partai politik. Masa itu, semua organisasi baik yang memiliki tujuan sosial seperti Budi Utomo ataupun organisasi yang menganut asas politik sekuler seperti PKI, memainkan peran penting dalam berkembangnya pergerakan nasional. Keanekaragaman asas organisasi ini lahir karena memang Indonesia adalah bangsa yang beranekaragam. Pola ini dihidupkan kembali pada zaman merdeka dalam bentuk sistem multi partai.
Dalam maklumat pemerintahan tanggal 3 November 1945 dikemukakan bahwa: “Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat. Pemerintah berharap supaya partai-partai politik itu telah tersusun, sebelum dilangsungkannya pemilihan anggota Badan-badan Perwakilan Rakyat pada bulan Januari 1946. Dengan anjuran itu, berdirilah 10 partai politik. Maklumat 3 November 1945 dapat disebut sebagai tonggak awal demokrasi Indonesia.
Indonesia mempunyai sejarah panjang dengan berbagai jenis sistem multi partai. Sistem ini telah melalui beberapa tahap dengan bobot kompetitif yang berbeda-beda. Indonesia berupaya untuk mendirikan suatu sistem multi partai yang mengambil unsur-unsur positif dari pengalaman masa lalu dan menghindari unsur negatifnya. Sistem kepartaian multi partai dianggap cocok untuk masyarakat Indonesia, hal ini mengingat keanekaragaman budaya politik masyarakat Indonesia. Perbedaan tajam yang ada dalam masyarkat yaitu meliputi ras, agama, atau suku bangsa mendorong golongan-golongan masyarakat lebih cenderung menyalurkan ikatan-ikatan terbatasnya (primordial) dalam satu wadah yang sempit saja. Hal ini dijadikan alasan bahwasanya pola sistem multi partai lebih sesuai dengan pluralitas budaya politik daripada sistem politik tunggal maupun sistem politik dwi partai. (Budiardjo, 2008)
Namun, dalam perjalanannya hingga kini, banyak studi yang menunjukkan kekurangan sistem multipartai yang diterapkan di Indonesia. beberapa di antaranya The Making of the Indonesian Multiparty Sistem: A Cartelized Party System and Its Origin oleh Ambardi (2008), DEMOKRASI BIAYA TINGGI Dimensi Ekonomi dalam Proses Demokrasi Elektoral di Indonesia Pasca Orde Baru oleh Dwipayana (2009), Politik Klientelisme Baru dan Dilema Demokratisasi di Indonesia oleh Hanif (2009), serta Pergeseran Peran Ideologi dalam Partai Politik oleh Prasetya (2011). Beberapa penelitian ini memberikan hasil yang menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran fungsi partai politik di Indonesia pasca orde baru.
Survei Global Corruption Barometer oleh Transparency International tahun 2004 dan 2010 membuktikan parpol merupakan institusi terkorup di banyak negara. Besarnya biaya politik menjadi penyebab utama hal ini terjadi. Di Indonesia, banyak peristiwa kejahatan korupsi yang dilakukan oleh anggota dan pejabat partai politik, baik individual maupun kolektif. Sebut saja, kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI oleh Komisi IX DPR 1999-2004; kasus korupsi pejabat teras Partai Demokrat mulai dari ketua umum, bendahara umum, wakil sekjen, pimpinan komisi di DPR, dan bahkan dua menteri yang menjabat posisi strategis; LHI dengan kasus kebijakan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian; dan masih banyak lagi kasus lainnya.
Berdasarkan beberapa masalah yang dipaparkan di atas, maka selanjutnya dalam tulisan ini akan dibahas mengenai Problematika Partai Politik dan Sistem Kepartaian dalam Konteks Indonesia Baru.

Tinjauan Pustaka
Definisi dan Fungsi Partai Politik
Carl J. Friedrich (Surbakti, 1992) mendefiniskan partai politik adalah sekompok manusia yang terorganisir sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta materiil.
Menurut Sigmund Neumann (Budiarjo, 2008, p. 404), partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.
Definisi partai politik menurut Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagai berikut: Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Fungsi utama partai politik ialah mencari dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudkanprogram-program yang disusun berdasarkan ideologi tertentu. Cara yang digunakan oleh suatu partai politik dalam sistem politik demokrasi untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan ialah ikut serta dalam pemilihan umum, sedangkan cara yang digunakan partai tunggal dalam sistem politik totaliter berupa paksaan fisik dan psikologik oleh suatu diktatorial kelompok (komunis) maupun oleh dictatorial individu (fasis). (Surbakti, 1992, p. 149)
Menurut Surbakti (1992, p.149), selain fungsi utama tersebut, ada juga fungsi lain sebagai berikut: sosialisasi politik, rekrutmen politik, partisipasi politik, pemadu kepentingan, komunikasi politik, pengendalian konflik, serta control politik.
 
Sistem Kepartaian di Indonesia
Sistem kepartaian digolongkan menjadi tiga, yaitu sistem partai tunggal, sistem dwipartai, dan sistem banyak partai (Duverger dalam Surbakti, 1992, p. 158). Sistem satu partai, berarti hanya ada satu partai dalam suatu negara, biasanya sistem kepartaian ini diterapkan dalam negara sosialis. Pola partai tunggal menunjukkan suasana yang non-kompetitif karena semua partai harus menerima pimpinan dari partai yang dominan dan tidak dibenarkan untuk bersaing dengannya. Tujuannya adalah untuk menghindari gejolak-gejolak sosial politik yang menghambat usaha-usaha pembangunan atau untuk mengintegrasikan aneka golongan yang ada dalam suatu negara.
Sistem dwi-partai biasa diartikan bahwa terdapat dua partai diantara beberapa partai, yang berhasil memenangkan dua tempat teratas dalam pemilihan umum secara bergiliran dan demikian memiliki kedudukan yang dominan. Dalam sistem ini partai dibagi menjadi dua yakni, pertama, partai yang berkuasa (karena menang dalam pemilihan umum) dan yang kedua, partai oposisi (partai yang kalah dalam pemilu). Dalam sistem ini partai yang kalah bertindak sebagai loyal opposition bagi pihak yang menang. Dalam persaingan memenangkan pemilihan umum kedua partai akan berusaha untuk merebut dukungan orang-orang yang berada di tengah kedua partai tersebut dan sering dinamakan pemilih terapung (floating voter) atau pemilih tengah (median voter). Sistem dwi-partai ini dapat berjalan dengan baik apabila komposisi masyarakat bersifat homogen, adanya konsensus yang kuat dalam masyarat mengenai asas dan tujuan sosial dan politik, serta adanya kontinuitas sejarah.
Budiardjo (2008) menjelaskan bahwa untuk menjalankan sistem kepartaian ini, harus memenuhi 3 syarat, yaitu komposisi masyarakat yang homogen, adanya konsensus kuat dalam masyarakat mengenai asas dan tujuan sosial dan politik, dan adanya kontinuitas sejarah. Tiga syarat inilah yang tidak mampu dipenuhi oleh negara kita, Indonesia, ketika mencoba menjalankan sistem dwi-partai pada tahun 1968.
Untuk sistem banyak partai, terdapat lebih dari dua partai dalam suatu Negara. Formula mayoritas biasanya diterapkan. Pemilihan umum cenderung menghasilkan pemerintahan koalisi. Pemerintahan koalisi ini dianggap rapuh dan kurang menciptakan pemerintahan yang stabil. Oleh karena itu, formula mayoritas sengaja digunakan sebagai sarana menghasilkan pemerintahan yang didukung mayoritas sehingga stabil (Surbakti, 1992, pp. 229-230).
Surbakti (1992, p. 156) menyatakan dalam sistem banyak partai, sering ditemui partai kepentingan. Partai kepentingan merupakan suatu partai politik yang dibentuk dan dikelola atas dasar kepentingan tertentu, seperti petani, buruh, etnis, agama, atau lingkungan hidup yang secara langsung ingin berpartisipasi dalam pemerintahan. Partai ini kadangakala terdapat pula dalam sistem dua partai berkompetisi namum tak mampu mengakomodasikan sejumlah kepentingan dalam masyarakat.
Sistem Kepartaian Indonesia menganut sistem banyak partai. Aturan ini tersirat dalam pasal 6A(2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik Frasa gabungan partai politik mengisyaratkan paling tidak ada dua partai atatu lebih yang bergabung untuk mengusung seorang calon pasangan presiden dan wakil presiden dan bersaing dengan calon lain yang diusulkan partai-partai lain. Ini artinya sistem kepartaian di Indonesia harus diikuti oleh minimal 3 partai politik atau lebih.
Penerapan sistem banyak partai ini didukung oleh Budiardjo (2008). Bagi negara dengan pluralitas yang tinggi seperti Indonesia, sistem multi-partai dianggap lebih cocok. Sistem multi-partai bisa mengakomodasi lebih banyak keinginan dan kepentingan masyarakat yang biasanya hanya ingin menyalurkan keinginannya pada ikatan-ikatan terbatasnya (primordial). Namun sistem multi-partai mempunyai potensi yang lebih besar untuk melemahkan pemerintahan karena tidak ada partai yang dominan. Partai koalisi harus berkompromi ketika ada kebijakan-kebijakan pemerintah yang dikeluarkan. Partai koalisi dan partai oposisi juga sering tidak loyal pada perannya karena bisa saja dalam situasi tertentu mereka bertukar peran. Sehingga, stabilitas politik pun kurang terjaga. Pola multi-partai umumnya diperkuat oleh sistem pemilihan Perwakilan Berimbang (Proportional Representation) yang memberi kesempatan luas bagi pertumbuhan parta-partai dan golongan-golongan baru.
Sejak era kemerdekaan, Indonesia telah memenuhi amanat pasal 6A ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945. Melalui Keputusan Wakil Presiden No X/1949, pemilihan umum pertama tahun 1955 diikuti oleh 29 partai politik dan juga peserta independen.
Di era reformasi saat ini, ada ratusan partai politik di Indonesia. Aturan hukum yang mengatur partai politik adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik. Partai Politik yang lolos dan memenuhi syarat menjadi peserta dalam Pemilu 2009 berjumlah 48 partai politik. Sedangkan partai politik yang lolos dan memenuhi syarat menjadi peserta dalam Pemilu 2014 sebanyak 12 partai.

Problematika Partai Politik di Indonesia
Selepas lengsernya kekuasaan orde partai politik menemukan nafasnya lagi dalam kehidupan politik. Ruang yang begitu luas diberikan melalui undang-undang untuk membuat partai politik dan kondisi semacam yang terjadi di awal kemerdekaan dengan munculnya banyak sekali partai politik waktu itu dengan 171 partai politik peserta pemilu. Dengan banyaknya partai politik hal ini menandakan bahwa partisipasi masyarakat untuk berpolitik tinggi. Dengan tidak diberlakukannya asas tunggal pancasila sebagai ideologi maka hal memberikan ruang yang cukup bebas bagi masyarakat membuat partai yang berbeda. Ideologi merupakan hal yang terbuka bagi setiap individu, setiap orang mempunyai pandangan yang berbeda tentang suatu hal, setiap orang mempunyai impian tentang masyarakat yang ideal (Prasetya, 2011).
Ambardi (2008) dalam studi doktoralnya, The making of the Indonesian Multiparty System: A Cartelized Party System and Its Origin melakukan pemotretan terhadap dinamika partai politik, khususnya sistem kepartaian di Indonesia dalam konteks politik era reformasi yaitu pemilu legislatif 1999 dan 2004 dalam rangka memperebutkan kursi di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan keterlibatan partai politik di kancah pemilu Presiden 1999 oleh DPR dan Pemilu Presiden langsung oleh rakyat tahun 2004.
Temuan dalam disertasi Ambardi adalah bahwa di era reformasi terjadi perubahan perilaku partai politik yang secara signifikan pada akhirnya merubah sistem kepartaian di Indonesia. Perubahan perilaku partai politik tersebut berkaitan dengan faktor-faktor kepentingan setiap partai berkaitan dengan sumber daya kekuasaan dan ekonomi yang menarik perhatian seluruh partai politik untuk terlibat dan saling berinteraksi untuk mendapatkan bagian dari proses bagi-bagi kekuasaan dan keuntungan ekonomi dalam setiap keputusan politik pemerintah maupun lembaga legislatif. Hal tersebut pada akhirnya melahirkan sikap-sikap dari partai politik itu sudah tidak lagi memperbincangkan sesuatu yang bersifat ideologis kepartaian. Isu-isu ideologis hanya bersifat pinggiran dalam struktur kekuasaan, tergeser oleh perbincangan politik yang lebih konkrit berkaitan dengan kepentingan pembagian kekuasaan dan sumber daya ekonomi. Ideologi kepartaian hanya menjadi isu menonjol dalam arena pertarungan politik memperebutkan suara pemilih pada saat pemilu saja. Setelah pesta pemilu, partai politik segera melakukan penyesuaian diri di dalam lingkungan struktur politik yang mengakomodasi berbagai kepentingan partai untuk masuk ke dalam pusat-pusat kekuasaan.
Hanif (2009, p. 346) menyatakan pasca orde baru ketika partai politik turut menentukan nasib sumber daya publik maka partai kemudian menjelma menjadi patron baru. Dengan penguasaan terhadap akses sumberdaya publik tersebut, partai politik kemudian berusaha mendapatkan dukungan suara dan loyalitas pemilih atau konstituennya melalui politik kebudimanan.
Proses electoral yang berlangsung dalam konteks demokrasi multi partai kompetitif menghadirkan biaya politik yang semakin tinggi. Partai politik membutuhkan biaya untuk memenangkan proses kompetisi politik yang bersifat multilayer; pemilihan eksekutif, legislatif baik di level nasional maupun daerah. Dana politik digunakan dalam dua kepentingan: menjalankan organisasi partai dan mendanai kampanye. Kebutuhan akan dana politik yang semakin besar mengharuskan partai politik dan kandidat mencari cara untuk menggalang dana politik (Dwipayana, 2009, p. 276).
Masih menurut Dwipayana (2009, p. 277), sejalan dengan fragmentasi kekuatan politik di era pasca Orde Baru juga menjadikan konstelasi kelompok bisnis, sebagai actor yang turut membiayai proses politik, juga tidak homogeny. Hal ini mendorong pola hubungan yang transaktif antara kelompok bisnis dengan kekuatan politik tertentu. Dalam hubungan transaktif, kekuatan politik akan mencari kelompok bisnis dengan penawaran tertinggi. Sebaliknya kekuatan bisnis akan cenderung mendukung kekuatan politik yang potensial menang dalam kompetisi. Fenomena demokrasi biaya tinggi tentu sangat mengkhawatirkan bagi proses konsolidasi demokrasi di Indonesia.

Pembahasan
Sistem kepartaian yang multi partai dalam era reformasi kali ini memunculkan banyak sekali partai politik  dengan  beragam  ideologi  yang mencapai ratusan partai politik. Pada masa ini ada  kemiripan  antara  masa  awal  reformasi  ini  dengan  November  1945,  masa ketika partai politik tumbuh subur. Kemiripan ini terjadi karena ada hubungan antara apa yang terjadi beberapa tahun sebelum ini dengan kejadian sebelum November 1945. Adanya euphoria berhasil keluar dari suatu kurun panjang represi politik, banyaknya kepentingan politik yang sodok menyodok berebut posisi, dan tidak adanya otoritas politik yang dapat mencegah hal itu.
Saat ini terdapat beberapa partai politik dengan perolehan suara yang cukup seimbang dengan ideology masing-masing partai berbeda. Sedangkan aturannya, partai politik atau gabungan partai politik yang dapat mengajukan pasangan capres - cawapres adalah partai politik yang memperoleh kursi di DPR paling sedikit 20 persen. Sistem kepartaian yang seperti ini membuat situasi politik menjadi rumit karena terjadi koalisi-koalisi partai politik yang bergantung kepada kepentingan partai-partai politik saja.
Secara umum, partai memerlukan dana besar untuk memenuhi kebutuhan campaign finance dan party finance. Party finance adalah keuangan parpol yang diperoleh dan digunakan untuk menjalankan kegiatan partai di luar masa kampanye, termasuk menggerakkan infrastruktur dan jaringan partai. Adapun campaign finance merupakan keuangan parpol yang diperoleh dan digunakan selama masa kampanye. Besarnya dana yang dibutuhkan partai tidak sebanding dengan sumber penerimaan yang dibolehkan menurut aturan. Menurut UU, ada tiga sumber keuangan partai: iuran anggota; sumbangan yang sah menurut hukum; dan bantuan keuangan dari APBN/APBD. Iuran anggota praktis tidak berjalan maksimal. Tingkat party identification yang rendah, kredibilitas partai yang buruk, sistem membership yang amburadul, membuat  partai sulit berharap dapat dana dari jalur ini. Pengurus partai juga malas memaksimalkan sumbangan anggota karena lebih memilih jalur pintas yang cepat menghasilkan dana segar untuk partai. Sementara itu, bantuan negara untuk keuangan partai tentu tidak mampu menjadi harapan utama pengurus partai.
Peraturan Pemerintah tentang Bantuan Keuangan Partai Politik (PP No 5/2009) dan perubahannya (PP No 83/2012) merumuskan formula untuk menentukan besaran bantuan. Ini bunyinya: "Besaran bantuan per suara peraih kursi DPR/DPRD ditentukan oleh besaran APBN/APBD periode sebelumnya dibagi perolehan suara partai politik yang memperoleh kursi DPR/DPRD periode sebelumnya".
Atas dasar formula itu, sembilan partai peraih kursi DPR hasil Pemilu 2009 mendapat bantuan Rp 108 per suara; sedangkan nilai per suara partai peraih kursi DPRD berbeda-beda untuk setiap daerah. Total uang yang diterima sembilan partai peraih kursi DPR Rp 9,2 miliar. Bantuan Rp 108 per suara itu jika dikonversikan ke 10 partai peraih kursi DPR hasil Pemilu 2014 mencapai Rp 13,2 miliar (Kompas, 10/3/2015).
Seiring dengan makin meningkatnya biaya operasional partai dan kebutuhan kampanye, partai lalu bergantung pada sumbangan pihak ketiga, baik perorangan maupun perusahaan. Inilah yang kemudian memicu sehingga terjadinya pola hubungan transaktif antara partai dan kelompok bisnis tertentu.
Akhir-akhir ini juga sering didengar istilah “kartel” dalam dunia politik, yang sebenarnya bermula dari dunia ekonomi. Kartel bertujuan mengontrol sesuatu misalnya tujuan mengontrol harga. Kartel hanya hidup dalam masyarakat kapitalis. Telah terjadi pergeseran istilah kartel dari konsep ekonomi ke konsep politik. Sistem politik di Indonesia memungkinkan semua partai membentuk oligarkhi dan makin lama praktek-praktek ini makin menguat, sehingga gejala yang muncul memperlihatkan kecenderungan hanya pihak yang mengontrol kapital yang akan mendapatkan suara.
Akibatnya, sistem politik digerakkan oleh uang. Kebijakan-kebijakan politik yang dihasilkan tak lebih merupakan perselingkuhan antara elit politik dan pemilik kapital. Sumbangan yang diberikan pada partai dianggap sebagai investasi dengan harapan elit bisnis mendapat imbalan (return) berupa kuasa atau proyek. Praktek politik kartel di Indonesia inilah yang menyebabkan merajalelanya korupsi secara besar-besaran dengan merampok uang negara dan mengorbankan kesejahteraan warga negara yang dilakukan oleh komplotan yang bersarang di partai-partai politik.
Partai politik tidak lagi menjalankan fungsi-fungsinya secara baik, terutama fungsinya sebagai alat perjuangan aspirasi politk rakyat. Sebagian besar panggung-panggung kampanye dihadiri massa karena ada proses transaksional menggunakan alat tukar benda atau uang. Tidak sedikit juga hadir dikarenakan adanya artis nasional atau hiburan lainnya. Elit-elit politik juga tidak ada upaya memperbaiki fungsi ini. Hanya sedikit elit berpolitik menggunakan wadah partai politik sebagai alat perjuangan, terbukti dari banyaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh elit partai poltik.
 
Kesimpulan
Indonesia merupakan negara yang menerapkan sistem multi partai, didasarkan pada kondisi bangsa yang begitu beragam. Amanat konstitusi secara tersirat mengharuskan pemberlakuan sistem ini. Saat ini, ada begitu banyak partai politik di Indonesia, seharusnya itu berarti semakin banyak aspirasi rakyat yang mampu disuarakan ke parlemen. Namun, kondisi bangsa hari ini tidak demikian, biaya demokrasi yang tinggi menjadi penyebab banyak fungsi partai politik tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Bukan itu saja, akibat lebih fatal lainnya adalah negara banyak mengalami kerugian akibat korupsi oleh elit partai yang duduk di parlemen maupun pemerintahan.

Daftar Pustaka

Ambardi, K. (2008). The Making of the Indonesian Multiparty Sistem: A Cartelized Party System and Its Origin (Doctoral Dissertation, The Ohio State University).
 
Budiardjo, M. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik - Edisi Revisi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Dwipayana, A. A. (2009). DEMOKRASI BIAYA TINGGI Dimensi Ekonomi dalam Proses Demokrasi Elektoral di Indonesia Pasca Orde Baru. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 12 Nomor 3, halaman 257-390.

Hanif, H. (2009). Politik Klientelisme Baru dan Dilema Demokratisasi di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 12 Nomor 3, halaman 257-390.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 83 tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik

Prasetya, I. Y. (2011). Pergeseran Peran Ideologi dalam Partai Politik. Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan Volume I Nomor 1, halaman 30-40.

Surbakti, R. (1992). Memahami Ilmu Politik. Bandung: Grasindo

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

“KENDALA RISET DAN INOVASI DI INDONESIA”



Artikel dengan judul “Riset dan Inovasi Tak Terarah” yang diterbitkan oleh Harian Kompas tanggal 19 September 2016 memuat beberapa permasalahan penting mengenai riset di Indonesia. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain berkaitan dengan anggaran riset, dominasi teknologi negara lain di Indonesia, fasilitas riset, serta persoalan koordinasi antar-lembaga riset di Indonesia.
Anggaran riset di Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN dapat dilihat pada grafik berikut:
 Gambar 1. Perbandingan Anggaran Riset dan Pengembangan (% PDB) Beberapa Negara di ASEAN
 Sumber: Data UNESCO 2016

 Indonesia merupakan negara yang anggaran riset dan pengembangannya paling kecil di antara beberapa negara tetangga tersebut, yakni hanya 0,08% PDB, sementara Singapura yang secara geografis ukuran wilayahnya tidak ada apa-apanya dibanding Indonesia, serta jumlah penduduk yang jauh lebih sedikit dari Indonesia telah mengalokasikan 2% PDB untuk anggaran riset dan pengembangan. Padahal menurut hasil Penelitian Suratmaja (2013), ada korelasi positif antara peningkatan anggaran riset dan pengembangan teknologi dengan jumlah Paten Internasional yang dihasilkan. Sangat wajar jika jumlah paten Internasional yang dimiliki Indonesia jauh lebih kecil dibandingkan negara lain seperti terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Jumlah Paten Internasional Tahun 2009-2011 Beberapa Negara di Asia
Sumber: Laporan Tahunan 2015 Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi

Gambar 3. Jumlah Publikasi Internasional Tahun 2005-2014 Beberapa Negara di ASEAN
Sumber: Laporan Tahunan 2015 Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi

Selain tertinggal dalam jumlah paten internasional, Indonesia juga tertinggal jauh dari Malaysia dalam hal jumlah publikasi internasional. Jumlah publikasi internasional Malaysia pada tahun 2014 sebesar 4,6 kali lipat jumlah publikasi Internasional Indonesia. Jika kita merujuk pada perbedaan anggaran riset kedua negara ini, yang mana anggaran riset Malaysia sebesar 1,3% dari PDB, maka dapat dikatakan bahwa salah satu penyebab ketertinggalan Indonesia dalam hal jumlah paten dan publikasi internasional tentu adalah anggaran riset.
Anggaran riset yang hanya 0,08% dari PDB ini saja sudah mengakibatkan jumlah paten dan publikasi internasional Indonesia begitu rendah, belum lagi ditambah pemotongan anggaran berdasarkan APBNP 2016. Melalui Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2016 tertanggal 26 Agustus 2016, Presiden menginstruksikan 85 Kementerian/Lembaga (K/L) untuk melakukan langkah-langkah penghematan dalam rangka pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) Tahun Anggaran 2016. Dalam lampiran Inpres tersebut tertuang besaran penghematan dari masing-masing K/L, hanya 3 dari 87 K/L yang tidak memperoleh penghematan APBN-P 2016, yaitu MPR RI, DPR RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.
Secara rinci, penghematan untuk Kementerian/Lembaga yang berkaitan langsung dengan riset sebagai berikut: Kemenristek dan Dikti Rp 1,358 triliun; Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Rp 17,674 miliar, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Rp 11,503 miliar; Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Rp 20,832 miliar; Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) RI 38,292 miliar; serta Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) Rp 6,510 miliar.
Dengan semakin kecilnya anggaran riset, bukan hanya mengganggu pelaksanaan riset yang telah direncanakan, namun juga berdampak pada fasilitas riset. Tidak mungkin fasilitas riset dapat disempurnakan jika dengan anggaran yang telah dipangkas itu lembaga riset harus mengubah rencana dan menjadwal ulang agenda riset. Jika anggaran riset Indonesia tidak mengalami peningkatan pada tahun-tahun yang akan datang, maka kondisi riset Indonesia juga dapat diprediksi akan tetap sama dengan keadaan hari ini.
Satu masalah lagi yang luput dibahas dalam artikel “Riset dan Inovasi Tak Terarah” adalah masalah jumlah peneliti di Indonesia. Dalam Rencana Strategis LIPI 2015-2019, disebutkan bahwa pada tahun 2013, tercatat rasio tenaga peneliti Indonesia, baik yang ada di lembaga penelitian pemerintah, perguruan tinggi, maupun di lembaga penelitian swasta, hanya 3,57 peneliti per 10.000 penduduk. Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan Malaysia yang mencapai rasio 16,43 atau Singapura 64,38.
Solusi yang dapat ditawarkan untuk mengakhiri permasalahan ini adalah dengan menambah anggaran riset. Rasio anggaran IPTEK yang memadai, menurut UNESCO, sebesar 2% dari PDB. Jika ingin mengikuti rasio anggaran ini, mungkin dirasakan terlalu membebani APBN. Alternatif solusinya adalah dengan melibatkan sektor bisnis industry untuk menopang anggaran tersebut. Namun, hal ini tidak mudah untuk dilakukan, mengingat 58% sumber teknologi Indonesia masih berasal dari luar negeri. Jika produk anak bangsa di dalam negeri bisa diberdayakan dengan baik, impor teknologi dari luar dikurangi secara perlahan, dan bersamaan dengan itu anggaran untuk riset dan pengembangan baik yang berasal dari pemerintah maupun dari sector industry ditingkatkan, sambil terus mendorong penambahan jumlah peneliti di Indonesia, maka perlahan-lahan permasalahan riset Indonesia bisa dipecahkan.
Solusi lain yakni dengan mencontoh strategi yang dilakukan negara tetangga Malaysia, yaitu dengan mendirikan Lembaga Riset Pemerintah, yaitu Mimos Berhad, lembaga riset ini lahir dari konsorsium beberapa peneliti dari berbagai kampus di Malaysia pada tahun 1980, diantaranya adalah Dr. Tengku Mohd Azzman Shariffadeen (Dekan Fakultas Teknik Universiti Malaya), Dr. Mohamed Awang Lah (Universiti Malaya), Dr. Muhammad Ghazie Ismail (Universiti Sains Malaysia), Dr. Mohd Arif Nun (Universiti Teknologi Malaysia) and Dr. Mohd Zawawi Ismail (Universiti Kebangsaan Malaysia). Para Peneliti dari berbagai kampus tersebut telah bersinergi untuk membangun sebuah lembaga penelitian di bidang teknologi mikroelektronika untuk mendukung pertumbuhan Industri dalam negeri Malaysia. Jika strategi ini diterapkan di Indonesia, dengan meleburkan Balitbang yang ada di berbagai kementerian teknis dengan lembaga-lembaga riset pemerintah, maka kegiatan riset lintas bidang akan saling mendukung, selain itu anggaran riset juga akan lebih focus.


DAFTAR PUSTAKA
Data UNESCO, 2016, Anggaran Riset dan Pengembangan (Persentase terhadap PDB) Berbagai Negara di Dunia, <http://www. databank.worldbank.org/data/reports.aspx?source=2&series=GB.XPD.RSDV.GD.ZS&country=MYS> (diakses 12 Oktober 2016)
Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2016 tertanggal 26 Agustus 2016
Laporan Tahunan 2015 Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi
Mimos Berhad dalam http://en.wikipedia.org/wiki/MIMOS
Redaksi Harian Kompas, Riset dan Inovasi Tak Terarah, Kompas, 19 September 2016, hal.1
Rencana Strategis Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 2015-2019
Suratmaja, A.C., 2013, Korelasi Peningkatan Anggaran Riset dengan Jumlah Penelitian dan Paten Internasional yang Dihasilkan di antara Negara Indonesia, Malaysia dan Thailand, Academia.edu (internet). < http://www.academia.edu/4643709> (diakses 12 Oktober 2016).