Kamis, 05 Januari 2017

Tragedi Pulomas dan Kesalahan Berfikir Orang-Orang

Oleh: Oumo Abdul Syukur

Mereka menyekap seisi rumah di dalam kamar mandi lalu menewaskan 6 orang dalam sebuah tragedi berdarah di Pulomas, Jakarta Timur. Anda tahu siapa pelakunya? Dari marganya sudah bisa diidentifikasi darimana mereka, dari rekam jejaknya bisa disimpulkan apa profesi utamanya.

Bahwa mereka bermarga Batak itu tak bisa dibantah, bahwa yang mereka lakukan itu perbuatan sungguh tidak manusiawi adalah fakta, jika benar mereka adalah pelakunya harus dihukum seberat-beratnya. Tetapi bukan itu poinnya. Yang ingin saya sampaikan adalah orang dari suku dan marga apapun bisa dan dapat melakukan kejahatan atau kebaikan dalam bentuk apapun. Dalam masyarakat kita, logika generalisir acap kali digunakan untuk menghakimi orang dari ras, suku, dan etnis tertentu. Hal ini sungguh berbahaya bagi masa depan berbangsa kita.

Kenapa saya ingin cerita ini, saat awal-awal memanasnya soal pembunuhan di Pulomas dan para pelaku belum juga ditangkap, saya memesan jasa transportasi online untuk beberapa keperluan. Dalam perjalanan, sang driver membuka percakapan lebih dahulu dengan menceritakan kepada saya soal pembunuhan sadis yang katanya dekat tempat tinggalnya. Apa yang menarik dari cerita sang driver ini? Dia bilang kemungkinan besar pelakunya adalah orang-orang Timur yg disuruh oleh bosnya (Debt Collector). Saya cuma diam lalu mendengarkan cerita berapi-apinya. Untuk apa juga berdebat dengan pencari kerja halal semacam dia. Buang-buang waktu juga berdebat dengan masyarakat yang sejak lahirnya sudah diajarkan otaknya dengan ajaran-ajaran semi-rasis (ini istilah saya 😂).

Ini contoh kecil dari sekian kejadian yang banyak dialami orang lain. Bahwa mengidentikkan segala kejelekan pada suku tertentu saat melihat fisiknya itu bukan hal yang baik untuk diteruskan. Mengalamatkan segala tindakan kejahatan terhadap ras tertentu itu juga tidak sepenuhnya benar. Semua suku dan ras bisa berbuat baik begitupun sebaliknya. Yang mesti disalahkan adalah orang (pelaku), bukan memberikan stereotipe yang hampir permanen sampai hari ini.

Entah dari mana sumbernya,  bahasa ini pernah saya dengar, "jika anda tidak sanggup berbuat baik, cukup dengan tidak berbuat jahat". Maknanya adalah jika kita tak sanggup untuk menghilangkan stereotipe itu, cukup dengan diam tak usah berkata apa-apa untuk saling melukai sesama warga negara.

Manusia sebenarnya dilahirkan dalam kedaan "merdeka" dan punya "daulat" atas dirinya sendiri, sehingga potensi “kemerdekaan” kepemilikan "daulat" sepenuhnya menjadi tangungjawab masing-masing. Mengekang “kemerdekaan” sama dengan mengusahakan untuk tidak memilih menjadi manusia seutuhnya. Tetapi ada hal yang acap kali kita lupa, bahwa segala "kemerdekaan" dan "kedulatan" kita dibatasi oleh aturan-aturan Tuhan dan makhluknya yang lain. 

Memilih salah satu dari keduanya, berbuat jahat dan berbuat baik, pun tentu melahirkan konsekuensinya masing-masing. Berbuat baik meniscayakan hasil yang baik pula, begitupun sebaliknya berbuat buruk meniscayakan hasil yang buruk. Meski terkadang hasil yang akan kita tuai dari kedua pilihan tersebut memakan waktu yg cukup lama. Dan ini berlaku umum, atau berlaku bagi siapapun, dari suku dan ras manapun.

Begini pandangan saya, suatu niat baik yang tidak berlebihan atau sesuai dengan kebutuhan tetap disebut dengan kebaikan. Namun saat kebaikan sudah meningkat berlebihan (Over) akan berubah menjadi kejahatan. Contohnya begini kiria-kira, orang sakit mesti minum obat untuk mendapatkan kesembuhan, tetapi saat konsumsi obatnya melampaui dosis maka akan berakibat buruk bagi diriya. 

Persamannya adalah sesorang yang mencari rejeki untuk memenuhi kebutuhan hidupnya adalah baik. Namun ketika kebutuhannya sudah berubah menjadi keinginan yang berlebihan yang selanjutnya ia menghalalkan segala cara untuk memenuhi keinginannya, ia menjadi seorang penjahat. Itu kira-kira yang terjadi pada kasus Pulomas kemarin. Gaya hidup yang mewah atau berlebihan bisa membuat orang menjadi perampok yang berperilaku jahat.

Manusia menjadi jahat karena melakukan tindakan yang berlebihan, rasa ingin kaya dan menumpuk-numpuk harta tidak dimiliki oleh hewan. Rasa serakah juga tidak dimiliki oleh hewan, buktinya mereka tidak memerlukan kulkas atau membangun gudang untuk menimbun.

Itu artinya, semua manusia dari suku dan rasa manapun bisa berlaku baik dan buruk dalam waktu yang bersamaan. Stop generalisir lalu memberikan stereotipe bagi manusia dari kelompok manapun. Hong Yi (1880-1942) berkata "seorang memiliki kemampuan berbuat jahat, tapi tidak melakukannya, itulah Kebajikan. Memiliki kemampuan berbuat baik, tapi tidak melakukan, itulah Keburukan".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar