“MEKANISME
PENDANAAN PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM (PTN-BH); SEBUAH ANALISA KRITIS”
PENDAHULUAN
Perubahan pada sistem pengelolaan pendidikan tinggi
di berbagai negara umumnya dikarenakan kebutuhan otonomi yang lebih luas.
Otonomi merupakan salah satu isu strategis dalam paradigma baru manajemen
pendidikan tinggi, termasuk pendidikan tinggi di Indonesia. Kebutuhan atas
otonomi pendidikan tinggi yang lebih luas ini coba dijawab oleh pemerintah
melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pada pasal
62 ayat (1) dinyatakan : Perguruan
Tinggi memiliki otonomi
untuk mengelola sendiri lembaganya
sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma. Selanjutnya pada
ayat (2) : Otonomi pengelolaan Perguruan
Tinggi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan dasar dan
tujuan serta kemampuan
Perguruan Tinggi.
Melalui Undang-Undang ini Perguruan Tinggi di
Indonesia kemudian “digolongkan” berdasarkan dasar dan
tujuan serta kemampuan
Perguruan Tinggi bersangkutan. Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum
(PTN-BH) merupakan perguruan tinggi yang mendapatkan otonomi dalam mengelola
institusinya. Di lain sisi, Pemerintah
memberikan penugasan kepada
PTN badan hukum untuk
menyelenggarakan fungsi Pendidikan
Tinggi yang terjangkau oleh masyarakat. Hingga saat ini di Indonesia telah ada
sebelas PTN-BH yaitu UI, UGM, ITB, IPB, UPI, USU, Unair, Unpad, Unhas, serta
ITS.
Otonomi pengelolaan perguruan tinggi meliputi bidang
akademik dan nonakademik. Pada bidang nonakademik, salah satu aspek yang
ditetapkan kebijakan operasionalnya adalah aspek keuangan. Dalam UU No. 12
Tahun 2012 Pasal 63 menyebutkan : Otonomi
pengelolaan Perguruan Tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip: a.
akuntabilitas; b. transparansi; c. nirlaba; d. penjaminan mutu; dan e.
efektivitas dan efisiensi. Hal ini berarti kelima prinsip inilah yang menjadi
prinsip tata kelola keuangan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, otonomi
berarti pemerintahan sendiri. Ketika sebuah perguruan tinggi diberikan otonomi,
berati bahwa perguruan tinggi itu diberikan kemandirian untuk mengelola
program, tenaga, keuangan, aset, dan lain sebagainya dalam rangka mencapai
keunggulan akademik. Pemerintahan sendiri serta kemadirian ini dapat dimaknai
berbeda jika persepsi setiap unsur terkait tidak disatukan. Perlu kejelasan
mengenai apa definisi (maksud, batasan) dari otonomi yang disebutkan dalam undang-undang
ini. Tanpa adanya kejelasan tersebut, dikhawatirkan terjadinya penterjemahan
otonomi, terutama otonomi keuangan secara bebas oleh setiap pihak yang
berkepentingan yang disesuaikan dengan kepentingan pribadi masing-masing.
Tata kelola keuangan, dalam hal ini mekanisme
pendanaan PTN-BH menjadi isu kritis dalam masyarakat. Ada yang berpendapat
bahwa dengan penerapan otonomi perguruan tinggi, akan terjadi komersialisasi
pendidikan. Perguruan tinggi dapat seenaknya menarik uang kuliah yang tinggi
dari masyarakat. Biaya pendidikan semakin mahal dan hanya orang “kaya” yang
nantinya akan bisa menikmati pendidikan. Golongan yang kontra dengan penerapan
perguruan tinggi otonom ini kemudian menawarkan solusi alternatif agar otonomi
ini dibatalkan dan tanggung jawab pendidikan dikembalikan ke pemerintah. Karena itu dalam tulisan ini akan coba dikaji
mengenai mekanisme pendanaan PTN Badan Hukum sesuai peraturan
perundangan-undangan.
OTONOMI
PERGURUAN TINGGI BERDASARKAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional Pasal 24 ayat (1) menyatakan : Dalam penyelenggaraan pendidikan
dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan
akademik dan kebebasan mimbar akademik seta otonomi keilmuan. Ayat (2) :
Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai
pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian
kepada masyarakat.
Selanjutnya dalam PP
Nomor 4 Tahun 2014 Pasal 22 dinyatakan : Perguruan Tinggi memiliki otonomi
untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan tridharma
Perguruan Tinggi. Otonomi yang dimaksud terdiri atas otonomi di bidang akademik
dan bidang nonakademik. Otonomi di bidang akademik meliputi penetapan norma dan
kebijakan operasional serta pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat. Sedangkan otonomi di bidang non akademik meliputi penetapan
norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan organisasi, keuangan,
kemahasiswaan, ketenagaan, sarana prasarana.
Pada pasal 30
disebutkan bahwa PTN Badan Hukum paling sedikit terdiri atas majelis wali amanat,
pemimpin Perguruan Tinggi, serta senat akademik. Majelis wali amanat sebagai
unsur penyusun kebijakan yang menjalankan fungsi penetapan, pertimbangan pelaksanaan
kebijakan umum, dan pengawasan nonakademik. Majelis wali
amanat membentuk komite
audit atau nama lain
sebagai unsur pengawas
untuk menjalankan fungsi pengawasan nonakademik. Komite audit
paling sedikit memiliki
anggota yang menguasai pencatatan
dan pelaporan keuangan, tata kelola Perguruan Tinggi, peraturan perundang-undangan di
bidang Pendidikan Tinggi, dan pengelolaan barang milik negara. Majelis wali
amanat dapat memiliki
anggota yang berasal dari unsur Pemerintah, unsur dosen, unsur
masyarakat, dan unsur lain.
Pemimpin Perguruan
Tinggi sebagai unsur pelaksana akademik, yang menjalankan fungsi
Pengelolaan Perguruan Tinggi
dan bertanggung jawab kepada
majelis wali amanat. Senat akademik yang menjalankan fungsi penetapan kebijakan, pemberian pertimbangan, dan pengawasan di bidang
akademik. Senat akademik memiliki
anggota wakil dari
dosen yang mewakili bidang ilmu
pengetahuan dan/atau teknologi atau kelompok bidang ilmu pengetahuan dan/atau teknologi
yang dikembangkan di Perguruan
Tinggi yang bersangkutan.
MEKANISME
PENDANAAN PTN-BH BERDASARKAN PERUNDANG-UNDANGAN
Dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 47 : (1) Sumber pendanaan pendidikan ditentukan
berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. (2) Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 74 : (1)
PTN wajib mencari
dan menjaring calon
Mahasiswa yang memiliki potensi
akademik tinggi, tetapi
kurang mampu secara ekonomi
dan calon Mahasiswa
dari daerah terdepan, terluar,
dan tertinggal untuk diterima paling
sedikit 20% (dua
puluh persen) dari seluruh
Mahasiswa baru yang
diterima dan tersebar pada semua Program Studi. (2) Program
Studi yang menerima
calon Mahasiswa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
dapat memperoleh bantuan biaya
Pendidikan dari Pemerintah, Pemerintah
Daerah, Perguruan Tinggi, dan/atau Masyarakat.
Dalam undang-undang
Nomor 12 Tahun 2012 Pasal 83 disebutkan : (1) Pemerintah menyediakan
dana Pendidikan Tinggi yang
dialokasikan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
(2) Pemerintah Daerah
dapat memberikan dukungan dana
Pendidikan Tinggi yang
dialokasikan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah.
Pasal 84 menyebutkan : (1) Masyarakat
dapat berperan serta
dalam pendanaan Pendidikan
Tinggi. (2) Pendanaan Pendidikan
Tinggi yang diperoleh
dari Masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat
diberikan kepada Perguruan
Tinggi dalam bentuk: a. hibah;
b. wakaf; c. zakat; d.
persembahan kasih; e. kolekte;
f. dana punia; g. sumbangan individu dan/atau perusahaan;
h. dana abadi Pendidikan Tinggi;
dan/atau i. bentuk lain
sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 85 menyebutkan : (1) Perguruan
Tinggi dapat berperan
serta dalam pendanaan Pendidikan
Tinggi melalui kerja
sama pelaksanaan Tridharma. (2)
Pendanaan Pendidikan Tinggi
dapat juga bersumber dari biaya
Pendidikan yang ditanggung
oleh Mahasiswa sesuai dengan
kemampuan Mahasiswa, orang tua
Mahasiswa, atau pihak
lain yang membiayainya.
Pasal 86 : (1) Pemerintah
memfasilitasi dunia usaha
dan dunia industri dengan
aktif memberikan bantuan
dana kepada Perguruan Tinggi. (2)
Pemerintah memberikan insentif kepada dunia usaha dan dunia
industri atau anggota
Masyarakat yang memberikan bantuan
atau sumbangan penyelenggaraan Pendidikan
Tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 87 : Pemerintah dan Pemerintah Daerah
dapat memberikan hak pengelolaan
kekayaan negara kepada
Perguruan Tinggi untuk kepentingan
pengembangan Pendidikan
Tinggi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 88 : (1) Pemerintah
menetapkan standar satuan
biaya operasional Pendidikan Tinggi secara periodik dengan
mempertimbangkan: a. capaian Standar Nasional Pendidikan Tinggi; b. jenis Program Studi; dan c. indeks kemahalan wilayah. (2) Standar
satuan biaya operasional
Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
menjadi dasar untuk mengalokasikan anggaran
dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara untuk PTN. (3)
Standar satuan biaya
operasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) digunakan sebagai dasar oleh PTN
untuk menetapkan biaya
yang ditanggung oleh Mahasiswa. (4) Biaya
yang ditanggung oleh
Mahasiswa sebagaimana
dimaksud pada ayat
(3) harus disesuaikan
dengan kemampuan ekonomi Mahasiswa,
orang tua Mahasiswa, atau pihak
lain yang membiayainya.
PP Nomor 4 Tahun 2014
Pasal 25 membahas aspek-aspek otonomi pengelolaan pada PTN Bandan Hukum. Salah
satunya adalah terkait penetapan norma, kebijakan operasional, dan pelaksanaan
keuangan yang terdiri atas : a) perencanaan dan pengelolaan anggaran jangka
pendek dan jangka panjang, b) tarif setiap jenis layanan pendidikan, c)
penerimaan, pembelajaan, dan pengelolaan uang, d) melakukan investasi jangka
pendek dan jangka panjang, e) membuat perjanjian dengan pihak ketiga dalm
lingkup tridharma perguruan tinggi, f) memiliki utang dan piutang jangka pendek
dan jangka panjang, g) sistem pencatatan dan pelaporan keuangan.
PP Nomor 58 Tahun 2013
tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum
Pasal 1 ayat (5) menyatakan : Pendanaan
adalah penyediaan sumber
daya keuangan untuk penyelenggaraan dan
pengelolaan Pendidikan Tinggi oleh PTN Badan Hukum.
Sumber Dana dan Bentuk
Pendanaan PTN BH didasarkan pada Pasal 3. Pemerintah menyediakan
dana untuk penyelenggaraan pendidikan
tinggi pada PTN
Badan Hukum yang dialokasikan
dalam anggaran pendapatan dan
belanja negara. Selain dialokasikan dari
anggaran pendapatan dan belanja negara, Pendanaan penyelenggaraan Pendidikan
Tinggi oleh PTN Badan Hukum juga
dapat bersumber dari masyarakat, biaya pendidikan, pengelolaan dana
abadi dan usaha-usaha
PTN Badan Hukum, kerja sama Tridharma, pengelolaan kekayaan negara
yang diberikan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah untuk kepentingan pengembangan
Pendidikan Tinggi, dan/atau
sumber lain yang sah. Sumber pendanaan PTN Badan Hukum merupakan pendapatan
PTN Badan Hukum yang dikelola secara otonom. Pendapatan PTN
Badan Hukum bukan merupakan penerimaan negara bukan pajak.
Pendanaan PTN Badan
Hukum yang dialokasikan dari anggaran
pendapatan dan belanja
negara merupakan bagian dari 20%
(dua puluh persen)
alokasi anggaran fungsi pendidikan. Selain
Pendanaan yang telah disebutkan, PTN Badan
Hukum dapat menerima pendanaan
melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Pasal 6 : (1) PTN
Badan Hukum menetapkan
tarif biaya pendidikan berdasarkan pedoman teknis penetapan tarif
yang ditetapkan Menteri. (2) Dalam menetapkan
tarif biaya pendidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1),
PTN Badan Hukum wajib
berkonsultasi dengan Menteri. (3) Tarif
biaya pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dengan
mempertimbangkan kemampuan ekonomi: a. mahasiswa; b. orang tua
mahasiswa; atau c. pihak lain yang membiayai mahasiswa.
Pasal 9 : (1) PTN
Badan Hukum dapat
memungut uang kuliah dari mahasiswa. (2) PTN Badan Hukum dapat memberikan: a.
bantuan biaya pendidikan
bagi mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi; dan/atau b. beasiswa bagi mahasiswa yang berprestasi.
Terkait mekanisme
pendanaan, ada 3 pasal yang penulis kutip, yaitu pasal 11, pasal 12, pasal dan
13. Pasal 11 : (1) PTN Badan
Hukum menyampaikan usulan
alokasi dana Bantuan Operasional
PTN Badan Hukum kepada
Menteri sesuai dengan
jadwal dan tahapan penyusunan anggaran
pendapatan dan belanja negara.(2) Usulan
alokasi dana Bantuan
Operasional PTN Badan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memuat: a. target kinerja; b. kebutuhan
biaya operasional Tridharma Perguruan Tinggi
di luar gaji
dan tunjangan pegawai negeri
sipil pada PTN Badan Hukum; dan c.
perhitungan satuan biaya
operasional Perguruan Tinggi dan
rencana penerimaan PTN
Badan Hukum. (3) Menteri bersama
PTN Badan Hukum membahas
usulan alokasi dana
Bantuan Operasional PTN Badan
Hukum yang akan
diberikan kepada PTN Badan Hukum. (4) Berdasarkan
hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri
menyetujui besaran usulan alokasi dana
Bantuan Operasional PTN Badan Hukum untuk diajukan kepada menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang keuangan. (5)
Pengajuan besaran usulan
alokasi dana Bantuan Operasional PTN
Badan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
dilaksanakan sesuai dengan jadwal
dan tahapan penyusunan
anggaran pendapatan dan belanja negara.
Pasal 12 : (1) PTN
Badan Hukum menyusun
rencana kerja dan anggaran
dengan memuat besaran
Bantuan Operasional PTN Badan
Hukum yang telah ditetapkan dalam
anggaran pendapatan dan
belanja negara dan sumber
Pendanaan lainnya untuk ditetapkan oleh
majelis wali amanat
setelah pengesahan anggaran pendapatan
dan belanja negara dan/atau
anggaran pendapatan dan
belanja daerah. (2) Rencana kerja
dan anggaran beserta
dokumen pendukung lainnya digunakan
untuk menyusun kontrak kinerja
PTN Badan Hukum dengan Menteri. (3)
Ketentuan lebih lanjut
mengenai penyusunan rencana kerja
dan anggaran beserta
dokumen pendukung lainnya ditetapkan
oleh PTN Badan Hukum.
Pasal 13 : (1) Pemberian
Bantuan Operasional PTN Badan Hukum kepada PTN Badan Hukum didasarkan
pada besaran Bantuan Operasional PTN
Badan Hukum dan kontrak kinerja yang telah ditetapkan. (2) PTN
Badan Hukum menggunakan
dana Bantuan Operasional PTN
Badan Hukum sesuai
dengan peruntukan yang telah
ditetapkan dalam rencana kerja dan anggaran. (3)
Ketentuan lebih lanjut
pelaksanaan pemberian Bantuan Operasional
PTN Badan Hukum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
diatur oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan.
Berkenaan dengan akuntabilitas
PTN Badan Hukum, Pasal 15 menyebutkan : (1) Rektor menyusun laporan kinerja dan laporan keuangan
PTN Badan Hukum pda setiap tahun anggaran
untuk disampaikan kepada majelis wali amanat, Menteri, dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang keuangan. (2) Laporan
kinerja PTN Badan Hukum disusun secara sistematis, akurat,
handal, dan akuntabel. (3) Laporan keuangan
PTN Badan Hukum disusun berdasarkan prinsip
akuntansi yang berlaku umum sesuai
dengan standar akuntansi keuangan yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan
Indonesia. (4) Laporan keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) terdiri
atas: a. laporan posisi keuangan (neraca); b.
laporan aktivitas; c. laporan
arus kas; dan d. catatan atas laporan
keuangan.
TELAAH
KRITIS MEKANISME PENDANAAN PTN-BH
Berdasarkan berbagai
peraturan perundang-undangan yang telah dipaparkan di depan, terlihat ahwa PTN
BH tidak boleh mengandalkan sebagian besar biaya pendidikan kepada mahasiswa.
Bahkan, untuk menetapkan besar uang kuliah yang dibayar mahasiswa juga harus
disesuaikan dengan kemampuan mahasiswa, orang
tua Mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya.
Otonomi yang diberikan
kepada PTN-BH ini juga tidak lantas menjadikan pemerintah lepas tangan terhadap
masalah pendanaan penyelenggaraan pendidikan di PTN-BH. Sumber dana pertama
adalah dari pemerintah yang
dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara. Dan
manfaat dari otonomi yang ada, peran pemerintah dibatasi sehingga pemerintah
tidak dapat mengintervensi pengelolaan PTN BH.
Selain dialokasikan
dari anggaran pendapatan
dan belanja negara, Pendanaan
penyelenggaraan Pendidikan Tinggi
oleh PTN Badan Hukum juga dapat bersumber dari masyarakat, biaya
pendidikan, pengelolaan dana abadi
dan usaha-usaha PTN Badan Hukum, kerja sama Tridharma,
pengelolaan kekayaan negara yang
diberikan oleh Pemerintah
dan pemerintah daerah
untuk kepentingan pengembangan Pendidikan
Tinggi, dan sumber lain yang sah. Usaha lain yang sah inilah yang masih
membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Penjelasan lebih lanjut ini dibutuhkan
agar tidak ada pendanaan ilegal dengan mengatasnamakan sumber lain yang sah.
Undang-Undang
menetapkan bahwa PTN Badan Hukum dapat melakukan usaha-usaha untuk memperoleh income yang bertumpu pada potensi dan
kemampuannya. Di sini dapat muncul peluang bagi PTN Badan Hukum untuk cenderung
melakukan usaha komersialisasi pendidikan. Karena itu, arah dan mekanismenya
perlu mempertimbangkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. Demikian
juga dalam pengelolaan dananya perlu didasarkan pada prinsip akuntabilitas,
transparansi, efektivitas dan efisiensi.
Kewajiban kuota 20%
bagi kalangan tidak mampu menepis anggapan bahwa pendidikan tinggi hanya bisa
dinikmati oleh orang-orang dengan ekonomi menengah ke atas. 20% merupakan kuota
yang relatif besar, mengingat terbatasnya kuota bangku perguruan tinggi serta
seleksi masuk yang ketat. Tanpa kewajiban kuota 20% ini, kemungkinan siswa
dengan ekonomi menengah ke bawah diterima dan sanggup membiayai kuliah sangat
kecil.
PENUTUP
Mekanisme pendanaan Peguruan Tinggi Negeri Badan
Hukum dan pengelolaan keuangannya masih menarik untuk terus dikaji. Terutama
kajian mengenai peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. “Celah-celah”
yang mungkin ditemukan harus mampu dicarikan solusinya agar penyelenggaraan
otonomi pendidikan tinggi tidak kebablasan.
LITERATURE
Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi
dan Pengelolaan Perguruan Tinggi.
Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan
Tinggi Negeri Badan Hukum
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar