Oleh: Abdul
Syukur Oumo (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Nasional)
Abstrak
Indonesia mempunyai sejarah panjang
dengan sistem multi partai. Selain kelebihan yang dimiliki, sistem ini memiliki
beberapa kekurangan, Banyak penelitian mencoba menggali berbagai problematika
partai politik dan sistem sistem kepartaian di Indonesia, beberapa di antaranya
menujukkan bahwa partai politik di Indonesia saat ini tidak sepenuhnya
menjalankan fungsinya dengan baik, sehingga muncul berbagai permasalahan (Ambardi: 2008, Dwipayana: 2009, Hanif: 2009,
Prasetya: 2011).
Pendahuluan
Partai politik pertama-tama lahir di negara-negara Eropa
Barat. Dengan luasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu
diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka partai politik
telah lahir secara spontan dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat di satu
pihak dan pemerintah di pihak lain (Budiardjo, 2008).
Manifestasi dari bangkitnya kesadaran nasional di Indonesia pada zaman colonial adalah dengan lahirnya Partai politik. Masa itu, semua organisasi baik yang memiliki tujuan sosial seperti Budi Utomo ataupun organisasi yang menganut asas politik
sekuler seperti PKI, memainkan peran penting dalam berkembangnya
pergerakan nasional. Keanekaragaman
asas organisasi ini lahir karena memang Indonesia adalah bangsa yang
beranekaragam. Pola ini dihidupkan kembali pada zaman merdeka dalam bentuk
sistem multi partai.
Dalam maklumat pemerintahan
tanggal 3 November 1945 dikemukakan bahwa: “Pemerintah
menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai
itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam
masyarakat. Pemerintah berharap supaya
partai-partai politik itu telah tersusun, sebelum dilangsungkannya pemilihan
anggota Badan-badan Perwakilan Rakyat pada bulan Januari 1946”. Dengan anjuran itu, berdirilah 10 partai politik. Maklumat 3 November 1945 dapat
disebut sebagai tonggak awal demokrasi Indonesia.
Indonesia mempunyai
sejarah panjang dengan berbagai jenis sistem multi partai. Sistem ini telah
melalui beberapa tahap dengan bobot kompetitif yang berbeda-beda. Indonesia
berupaya untuk mendirikan suatu sistem multi partai yang mengambil unsur-unsur
positif dari pengalaman masa lalu dan menghindari unsur negatifnya. Sistem
kepartaian multi partai dianggap cocok untuk masyarakat Indonesia, hal ini
mengingat keanekaragaman budaya politik masyarakat Indonesia. Perbedaan tajam
yang ada dalam masyarkat yaitu meliputi ras, agama, atau suku bangsa mendorong
golongan-golongan masyarakat lebih cenderung menyalurkan ikatan-ikatan
terbatasnya (primordial) dalam satu wadah yang sempit saja. Hal ini dijadikan
alasan bahwasanya pola sistem multi partai lebih sesuai dengan pluralitas
budaya politik daripada sistem politik tunggal maupun sistem politik dwi partai. (Budiardjo,
2008)
Namun, dalam perjalanannya hingga kini, banyak studi
yang menunjukkan kekurangan sistem multipartai yang diterapkan di Indonesia.
beberapa di antaranya The Making of the
Indonesian Multiparty Sistem: A Cartelized Party System and Its Origin oleh
Ambardi (2008), DEMOKRASI BIAYA
TINGGI Dimensi Ekonomi dalam Proses Demokrasi Elektoral di Indonesia Pasca Orde
Baru oleh Dwipayana (2009), Politik Klientelisme Baru dan Dilema Demokratisasi
di Indonesia oleh Hanif (2009), serta Pergeseran
Peran Ideologi dalam Partai Politik oleh Prasetya (2011). Beberapa penelitian
ini memberikan hasil yang menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran fungsi
partai politik di Indonesia pasca orde baru.
Survei Global Corruption Barometer oleh Transparency
International tahun 2004 dan 2010 membuktikan parpol merupakan institusi
terkorup di banyak negara. Besarnya biaya politik menjadi penyebab utama hal
ini terjadi. Di Indonesia, banyak peristiwa kejahatan korupsi yang dilakukan
oleh anggota dan pejabat partai politik, baik individual maupun kolektif. Sebut
saja, kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI oleh Komisi IX DPR
1999-2004; kasus korupsi pejabat teras Partai Demokrat mulai dari ketua umum,
bendahara umum, wakil sekjen, pimpinan komisi di DPR, dan bahkan dua menteri
yang menjabat posisi strategis; LHI dengan kasus kebijakan kuota impor daging
sapi di Kementerian Pertanian; dan masih banyak lagi kasus lainnya.
Berdasarkan beberapa masalah yang dipaparkan di
atas, maka selanjutnya dalam tulisan ini akan dibahas mengenai Problematika
Partai Politik dan Sistem Kepartaian dalam Konteks Indonesia Baru.
Tinjauan Pustaka
Definisi dan Fungsi Partai Politik
Carl J. Friedrich (Surbakti, 1992) mendefiniskan partai politik adalah
sekompok manusia yang terorganisir sekelompok manusia yang terorganisir secara
stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap
pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan
kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta materiil.
Menurut Sigmund Neumann (Budiarjo, 2008, p. 404), partai
politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk
menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui
persaingan dengan suatu golongan atau golongan lain yang mempunyai pandangan
yang berbeda.
Definisi partai politik menurut Undang-Undang RI
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagai berikut: Partai Politik
adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara
Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk
memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan
negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Fungsi utama partai politik ialah mencari dan
mempertahankan kekuasaan guna mewujudkanprogram-program yang disusun
berdasarkan ideologi tertentu. Cara yang digunakan oleh suatu partai politik
dalam sistem politik demokrasi untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan
ialah ikut serta dalam pemilihan umum, sedangkan cara yang digunakan partai
tunggal dalam sistem politik totaliter berupa paksaan fisik dan psikologik oleh
suatu diktatorial kelompok (komunis) maupun oleh dictatorial individu (fasis). (Surbakti, 1992, p. 149)
Menurut Surbakti (1992, p.149), selain fungsi utama
tersebut, ada juga fungsi lain sebagai berikut: sosialisasi politik, rekrutmen
politik, partisipasi politik, pemadu kepentingan, komunikasi politik,
pengendalian konflik, serta control politik.
Sistem Kepartaian di Indonesia
Sistem kepartaian digolongkan menjadi tiga, yaitu
sistem partai tunggal, sistem dwipartai, dan sistem banyak partai (Duverger
dalam Surbakti, 1992, p. 158). Sistem satu partai, berarti hanya ada satu
partai dalam suatu negara, biasanya sistem kepartaian ini diterapkan dalam
negara sosialis. Pola partai tunggal menunjukkan suasana
yang non-kompetitif karena semua partai harus menerima pimpinan dari partai
yang dominan dan tidak dibenarkan untuk bersaing dengannya. Tujuannya adalah
untuk menghindari gejolak-gejolak sosial politik yang menghambat usaha-usaha
pembangunan atau untuk mengintegrasikan aneka golongan yang ada dalam suatu
negara.
Sistem dwi-partai biasa
diartikan bahwa terdapat dua partai diantara beberapa partai, yang berhasil
memenangkan dua tempat teratas dalam pemilihan umum secara bergiliran dan
demikian memiliki kedudukan yang dominan. Dalam sistem ini partai dibagi
menjadi dua yakni, pertama, partai yang berkuasa (karena menang dalam pemilihan
umum) dan yang kedua, partai oposisi (partai yang kalah dalam pemilu). Dalam
sistem ini partai yang kalah bertindak sebagai loyal opposition bagi pihak yang
menang. Dalam persaingan memenangkan pemilihan umum kedua partai akan berusaha
untuk merebut dukungan orang-orang yang berada di tengah kedua partai tersebut
dan sering dinamakan pemilih terapung (floating
voter) atau pemilih tengah (median
voter). Sistem dwi-partai ini dapat berjalan dengan baik apabila komposisi
masyarakat bersifat homogen, adanya konsensus yang kuat dalam masyarat mengenai
asas dan tujuan sosial dan politik, serta adanya kontinuitas sejarah.
Budiardjo (2008) menjelaskan bahwa
untuk menjalankan sistem kepartaian ini, harus memenuhi 3 syarat, yaitu
komposisi masyarakat yang homogen, adanya konsensus kuat dalam masyarakat
mengenai asas dan tujuan sosial dan politik, dan adanya kontinuitas sejarah.
Tiga syarat inilah yang tidak mampu dipenuhi oleh negara kita, Indonesia,
ketika mencoba menjalankan sistem dwi-partai pada tahun 1968.
Untuk sistem banyak partai, terdapat lebih dari dua
partai dalam suatu Negara. Formula mayoritas biasanya diterapkan. Pemilihan
umum cenderung menghasilkan pemerintahan koalisi. Pemerintahan koalisi ini
dianggap rapuh dan kurang menciptakan pemerintahan yang stabil. Oleh karena
itu, formula mayoritas sengaja digunakan sebagai sarana menghasilkan
pemerintahan yang didukung mayoritas sehingga stabil (Surbakti,
1992, pp. 229-230).
Surbakti (1992, p. 156) menyatakan dalam
sistem banyak partai, sering ditemui partai kepentingan. Partai kepentingan
merupakan suatu partai politik yang dibentuk dan dikelola atas dasar
kepentingan tertentu, seperti petani, buruh, etnis, agama, atau lingkungan
hidup yang secara langsung ingin berpartisipasi dalam pemerintahan. Partai ini
kadangakala terdapat pula dalam sistem dua partai berkompetisi namum tak mampu
mengakomodasikan sejumlah kepentingan dalam masyarakat.
Sistem Kepartaian
Indonesia menganut sistem banyak
partai. Aturan ini tersirat dalam pasal 6A(2) UUD 1945 yang menyebutkan
bahwa presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik Frasa gabungan partai politik mengisyaratkan paling tidak ada
dua partai atatu lebih yang bergabung untuk mengusung seorang calon pasangan
presiden dan wakil presiden dan bersaing dengan calon lain yang diusulkan
partai-partai lain. Ini artinya sistem kepartaian di Indonesia harus diikuti
oleh minimal 3 partai politik atau lebih.
Penerapan sistem banyak
partai ini didukung oleh Budiardjo (2008). Bagi negara dengan
pluralitas yang tinggi seperti Indonesia, sistem multi-partai dianggap lebih
cocok. Sistem multi-partai bisa mengakomodasi lebih banyak keinginan dan
kepentingan masyarakat yang biasanya hanya ingin menyalurkan keinginannya pada
ikatan-ikatan terbatasnya (primordial). Namun sistem multi-partai mempunyai
potensi yang lebih besar untuk melemahkan pemerintahan karena tidak ada partai
yang dominan. Partai koalisi harus berkompromi ketika ada kebijakan-kebijakan
pemerintah yang dikeluarkan. Partai koalisi dan partai oposisi juga sering
tidak loyal pada perannya karena bisa saja dalam situasi tertentu mereka
bertukar peran. Sehingga, stabilitas politik pun kurang terjaga. Pola
multi-partai umumnya diperkuat oleh sistem pemilihan Perwakilan Berimbang (Proportional Representation) yang
memberi kesempatan luas bagi pertumbuhan parta-partai dan golongan-golongan
baru.
Sejak era kemerdekaan,
Indonesia telah memenuhi amanat pasal 6A ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945.
Melalui Keputusan Wakil Presiden No X/1949, pemilihan umum pertama tahun 1955
diikuti oleh 29 partai politik dan juga peserta independen.
Di
era reformasi saat ini, ada ratusan partai politik di Indonesia. Aturan hukum yang
mengatur partai politik adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun
2008 tentang Partai Politik. Partai Politik yang lolos dan memenuhi syarat
menjadi peserta dalam Pemilu 2009 berjumlah 48 partai politik. Sedangkan partai
politik yang lolos dan memenuhi syarat menjadi peserta dalam Pemilu 2014
sebanyak 12 partai.
Problematika Partai Politik di Indonesia
Selepas lengsernya kekuasaan orde partai politik
menemukan nafasnya lagi dalam kehidupan politik. Ruang yang begitu luas
diberikan melalui undang-undang untuk membuat partai politik dan kondisi
semacam yang terjadi di awal kemerdekaan dengan munculnya banyak sekali partai politik
waktu itu dengan 171 partai politik peserta pemilu. Dengan banyaknya partai
politik hal ini menandakan bahwa partisipasi masyarakat untuk berpolitik
tinggi. Dengan tidak diberlakukannya asas tunggal pancasila sebagai ideologi
maka hal memberikan ruang yang cukup bebas bagi masyarakat membuat partai yang
berbeda. Ideologi merupakan hal yang terbuka bagi setiap individu, setiap orang
mempunyai pandangan yang berbeda tentang suatu hal, setiap orang mempunyai
impian tentang masyarakat yang ideal (Prasetya, 2011).
Ambardi (2008) dalam studi
doktoralnya,
The making of the Indonesian Multiparty System: A Cartelized Party System and
Its Origin melakukan pemotretan
terhadap dinamika partai politik, khususnya sistem kepartaian di Indonesia
dalam konteks politik era reformasi yaitu pemilu legislatif 1999 dan 2004 dalam
rangka memperebutkan kursi di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan keterlibatan
partai politik di kancah pemilu Presiden 1999 oleh DPR dan Pemilu Presiden
langsung oleh rakyat tahun 2004.
Temuan dalam disertasi Ambardi adalah bahwa di era
reformasi terjadi perubahan perilaku partai politik yang secara signifikan pada
akhirnya merubah sistem kepartaian di Indonesia. Perubahan perilaku partai
politik tersebut berkaitan dengan faktor-faktor kepentingan setiap partai
berkaitan dengan sumber daya kekuasaan dan ekonomi yang menarik perhatian
seluruh partai politik untuk terlibat dan saling berinteraksi untuk mendapatkan
bagian dari proses bagi-bagi kekuasaan dan keuntungan ekonomi dalam setiap keputusan
politik pemerintah maupun lembaga legislatif. Hal tersebut pada akhirnya
melahirkan sikap-sikap dari partai politik itu sudah tidak lagi
memperbincangkan sesuatu yang bersifat ideologis kepartaian. Isu-isu ideologis
hanya bersifat pinggiran dalam struktur kekuasaan, tergeser oleh perbincangan
politik yang lebih konkrit berkaitan dengan kepentingan pembagian kekuasaan dan
sumber daya ekonomi. Ideologi kepartaian hanya menjadi isu menonjol dalam arena
pertarungan politik memperebutkan suara pemilih pada saat pemilu saja. Setelah
pesta pemilu, partai politik segera melakukan penyesuaian diri di dalam
lingkungan struktur politik yang mengakomodasi berbagai kepentingan partai
untuk masuk ke dalam pusat-pusat kekuasaan.
Hanif (2009, p. 346) menyatakan pasca
orde baru ketika partai politik turut menentukan nasib sumber daya publik maka
partai kemudian menjelma menjadi patron baru. Dengan penguasaan terhadap akses
sumberdaya publik tersebut, partai politik kemudian berusaha mendapatkan
dukungan suara dan loyalitas pemilih atau konstituennya melalui politik
kebudimanan.
Proses electoral yang berlangsung dalam konteks
demokrasi multi partai kompetitif menghadirkan biaya politik yang semakin
tinggi. Partai politik membutuhkan biaya untuk memenangkan proses kompetisi
politik yang bersifat multilayer; pemilihan eksekutif, legislatif baik di level
nasional maupun daerah. Dana politik digunakan dalam dua kepentingan:
menjalankan organisasi partai dan mendanai kampanye. Kebutuhan akan dana
politik yang semakin besar mengharuskan partai politik dan kandidat mencari
cara untuk menggalang dana politik (Dwipayana, 2009, p. 276).
Masih
menurut Dwipayana (2009, p. 277), sejalan dengan
fragmentasi kekuatan politik di era pasca Orde Baru juga menjadikan konstelasi
kelompok bisnis, sebagai actor yang turut membiayai proses politik, juga tidak
homogeny. Hal ini mendorong pola hubungan yang transaktif antara kelompok
bisnis dengan kekuatan politik tertentu. Dalam hubungan transaktif, kekuatan
politik akan mencari kelompok bisnis dengan penawaran tertinggi. Sebaliknya
kekuatan bisnis akan cenderung mendukung kekuatan politik yang potensial menang
dalam kompetisi. Fenomena demokrasi biaya tinggi tentu sangat mengkhawatirkan
bagi proses konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Pembahasan
Sistem kepartaian yang multi partai dalam era
reformasi kali ini memunculkan banyak sekali partai politik dengan
beragam ideologi yang mencapai ratusan partai politik. Pada
masa ini ada kemiripan antara
masa awal reformasi
ini dengan November
1945, masa ketika partai politik
tumbuh subur. Kemiripan ini terjadi karena ada hubungan antara apa yang terjadi
beberapa tahun sebelum ini dengan kejadian sebelum November 1945. Adanya euphoria
berhasil keluar dari suatu kurun panjang represi politik, banyaknya kepentingan
politik yang sodok menyodok berebut posisi, dan tidak adanya otoritas politik
yang dapat mencegah hal itu.
Saat ini terdapat beberapa partai politik dengan
perolehan suara yang cukup seimbang dengan ideology masing-masing partai
berbeda. Sedangkan aturannya, partai politik atau gabungan partai politik yang
dapat mengajukan pasangan capres - cawapres adalah partai politik yang
memperoleh kursi di DPR paling sedikit 20 persen. Sistem kepartaian yang
seperti ini membuat situasi politik menjadi rumit karena terjadi
koalisi-koalisi partai politik yang bergantung kepada kepentingan partai-partai
politik saja.
Secara umum, partai memerlukan dana besar untuk
memenuhi kebutuhan campaign finance
dan party finance. Party finance adalah keuangan parpol
yang diperoleh dan digunakan untuk menjalankan kegiatan partai di luar masa
kampanye, termasuk menggerakkan infrastruktur dan jaringan partai. Adapun campaign finance merupakan keuangan
parpol yang diperoleh dan digunakan selama masa kampanye. Besarnya dana yang
dibutuhkan partai tidak sebanding dengan sumber penerimaan yang dibolehkan
menurut aturan. Menurut UU, ada tiga sumber keuangan partai: iuran anggota; sumbangan
yang sah menurut hukum; dan bantuan keuangan dari APBN/APBD. Iuran anggota
praktis tidak berjalan maksimal. Tingkat party
identification yang rendah, kredibilitas partai yang buruk, sistem
membership yang amburadul, membuat
partai sulit berharap dapat dana dari jalur ini. Pengurus partai juga
malas memaksimalkan sumbangan anggota karena lebih memilih jalur pintas yang
cepat menghasilkan dana segar untuk partai. Sementara itu, bantuan negara untuk
keuangan partai tentu tidak mampu menjadi harapan utama pengurus partai.
Peraturan Pemerintah tentang Bantuan Keuangan Partai
Politik (PP No 5/2009) dan perubahannya (PP No 83/2012) merumuskan formula
untuk menentukan besaran bantuan. Ini bunyinya: "Besaran bantuan per suara
peraih kursi DPR/DPRD ditentukan oleh besaran APBN/APBD periode sebelumnya
dibagi perolehan suara partai politik yang memperoleh kursi DPR/DPRD periode
sebelumnya".
Atas dasar formula itu, sembilan partai peraih kursi
DPR hasil Pemilu 2009 mendapat bantuan Rp 108 per suara; sedangkan nilai per
suara partai peraih kursi DPRD berbeda-beda untuk setiap daerah. Total uang
yang diterima sembilan partai peraih kursi DPR Rp 9,2 miliar. Bantuan Rp 108
per suara itu jika dikonversikan ke 10 partai peraih kursi DPR hasil Pemilu
2014 mencapai Rp 13,2 miliar (Kompas, 10/3/2015).
Seiring dengan makin meningkatnya biaya operasional
partai dan kebutuhan kampanye, partai lalu bergantung pada sumbangan pihak
ketiga, baik perorangan maupun perusahaan. Inilah yang kemudian memicu sehingga
terjadinya pola hubungan transaktif antara partai dan kelompok bisnis tertentu.
Akhir-akhir ini juga sering didengar istilah
“kartel” dalam dunia politik, yang sebenarnya bermula dari dunia ekonomi. Kartel
bertujuan mengontrol sesuatu misalnya tujuan mengontrol harga. Kartel hanya
hidup dalam masyarakat kapitalis. Telah terjadi pergeseran istilah kartel dari
konsep ekonomi ke konsep politik. Sistem politik di Indonesia memungkinkan
semua partai membentuk oligarkhi dan makin lama praktek-praktek ini makin
menguat, sehingga gejala yang muncul memperlihatkan kecenderungan hanya pihak
yang mengontrol kapital yang akan mendapatkan suara.
Akibatnya, sistem politik digerakkan oleh uang.
Kebijakan-kebijakan politik yang dihasilkan tak lebih merupakan perselingkuhan
antara elit politik dan pemilik kapital. Sumbangan yang diberikan pada partai
dianggap sebagai investasi dengan harapan elit bisnis mendapat imbalan (return)
berupa kuasa atau proyek. Praktek politik kartel di Indonesia inilah yang
menyebabkan merajalelanya korupsi secara besar-besaran dengan merampok uang
negara dan mengorbankan kesejahteraan warga negara yang dilakukan oleh
komplotan yang bersarang di partai-partai politik.
Partai politik tidak lagi menjalankan
fungsi-fungsinya secara baik, terutama fungsinya sebagai alat perjuangan aspirasi
politk rakyat. Sebagian besar panggung-panggung kampanye dihadiri massa karena
ada proses transaksional menggunakan alat tukar benda atau uang. Tidak sedikit
juga hadir dikarenakan adanya artis nasional atau hiburan lainnya. Elit-elit
politik juga tidak ada upaya memperbaiki fungsi ini. Hanya sedikit elit
berpolitik menggunakan wadah partai politik sebagai alat perjuangan, terbukti
dari banyaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh elit partai poltik.
Kesimpulan
Indonesia
merupakan negara yang menerapkan sistem multi partai, didasarkan pada kondisi
bangsa yang begitu beragam. Amanat konstitusi secara tersirat mengharuskan
pemberlakuan sistem ini. Saat ini, ada begitu banyak partai politik di
Indonesia, seharusnya itu berarti semakin banyak aspirasi rakyat yang mampu
disuarakan ke parlemen. Namun, kondisi bangsa hari ini tidak demikian, biaya
demokrasi yang tinggi menjadi penyebab banyak fungsi partai politik tidak dapat
dilaksanakan dengan baik. Bukan itu saja, akibat lebih fatal lainnya adalah
negara banyak mengalami kerugian akibat korupsi oleh elit partai yang duduk di
parlemen maupun pemerintahan.
Daftar Pustaka
Ambardi, K. (2008). The Making of the Indonesian
Multiparty Sistem: A Cartelized Party System and Its Origin (Doctoral
Dissertation, The Ohio State University).
Budiardjo, M. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik - Edisi
Revisi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Dwipayana, A. A. (2009). DEMOKRASI
BIAYA TINGGI Dimensi Ekonomi dalam Proses Demokrasi Elektoral di Indonesia
Pasca Orde Baru. Jurnal Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Volume 12 Nomor 3, halaman 257-390.
Hanif, H. (2009). Politik
Klientelisme Baru dan Dilema Demokratisasi di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume
12 Nomor 3, halaman 257-390.
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan
Kepada Partai Politik
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 83
tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009
Tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik
Prasetya, I. Y. (2011). Pergeseran
Peran Ideologi dalam Partai Politik. Jurnal
Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan Volume I Nomor 1, halaman 30-40.
Surbakti, R. (1992). Memahami Ilmu Politik. Bandung:
Grasindo
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.