Alkisah di sebuah hutan belantara. Ikan, elang, dan
teman-temannya, segala jenis hewan penghuni hutan diharuskan untuk mengikuti
pendidikan dasar 6 tahun. Kurikulum mengharuskan seluruh siswa untuk
mempelajari 4 mata pelajaran di tahun pertama sekolah: Memanjat Pohon, Terbang,
Lari, serta Berenang. Bisa atau tidak, semua matapelajaran harus diikuti oleh
semua siswa, karena itu tuntutan kurikulum.
Hasil ujian semester 1. Ikan memperoleh nilai A+
(nilai sempurna) dalam mata pelajaran berenang dan nilai E untuk tiga mata pelajaran
lainnya. Rata-rata nilai ikan 1,00. Elang memperoleh nilai A+ dalam
matapelajaran terbang, nilai D untuk lari, serta nilai E untuk memanjat pohon
dan berenang. Rata-rata nilai elang 1,25.
Memasuki semester 2, ikan memutuskan untuk mengikuti
les tambahan untuk matapelajaran memanjat pohon terbang, dan lari. Tujuannya agar
ia tidak lagi memperoleh nilai merah di raportnya. Selama 6 hari dalam
seminggu, ikan mengikuti les. Setiap hari ia menghabiskan waktu 3 jam, satu jam
untuk masing-masing les. Berbeda dengan
elang yang memilih untuk menekuni mata pelajaran terbang, karena ia menyukai
terbang dan ia merasa terbang adalah bakatnya. Elang tidak peduli dengan nilai
merah untuk mata pelajaran yang lain.
Tibalah waktu ujian semester 2. Ujian pertama,
memanjat pohon. Apakah ikan mampu memperoleh nilai yang baik? Tentu saja tidak.
Meski telah berusaha keras, ia harus berpuas diri dengan nilai D. Nilai yang sama
untuk ujian lari dan terbang. Hari terakhir, ujian berenang. Ikan pergi ke
sekolah dalam kondisi cedera serius akibat kemarin terlalu memaksakan diri di ujian
terbang. Sirip yang sangat membantu ia dalam berenang sulit digerakkan. Akibatnya,
performa ikan saat berenang tidak maksimal, dan ia hanya mendapat nilai B. Rata-rata
nilai ikan 1,50. Bagaimana dengan elang? Nilai yang ia peroleh sama dengan
semester kemarin, hanya berbeda di nilai lari, ia mendapat E. Rata-rata nilai elang
1,00.
Rata-rata nilai ikan meningkat, elang sebaliknya. Namun
dari segi keahlian tidak demikian. Elang menunjukkan perubahan yang luar biasa.
Banyak aksi akrobatik di udara yang luar biasa mampu ia lakukan dengan sempurna.
Sedangkan ikan, untuk berenang saja tidak lagi sehebat dulu. Namun, karena
nilai ikan lebih tinggi dari elang, peringkat ikan di kelas lebih tinggi
daripada elang.
Ini kisah dari sekolah di hutan belantara, sekolah
para hewan. Di sini, kurikulum dikembangkan untuk mengakomodir keinginan para
pengambil keputusan, kemudian diterapkan pada seluruh siswanya tanpa
mempertimbangkan minat, bakat, kemampuan, serta keberagaman yang ada. Di sini nilai
hasil ujian adalah segala-galanya. Semoga yang terjadi di sini tidak terjadi di
sekolah kita, sekolah para manusia. Karena jika terjadi seperti itu, tentu
tidak ada bedanya sekolah para hewan dan sekolah para manusia.